Bisnis.com, Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) buka suara atas pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang melaporkan kesimpulan minimnya regulator, salah satunya masih belum sepenuhnya melakukan pengawasan penagihan dan pengawasan khusus. . status (Pencairan dana BPR/BPRS pada Bank di bawah BDPK).

Ketua Dewan OJK Mahendra Siregar mengatakan pihaknya mengambil beberapa keputusan terkait Bank Ekonomi Rakyat.

“Iya, [berbagai keputusan ini] termasuk pengawasan negara dan pencabutan izin usaha,” ujarnya kepada tim pers DPR, Kamis (6/6/2024). 

Mahendra memilih tak berkomentar lebih jauh mengenai perhitungan BPK tersebut, dengan menyebut akan ada potensi risiko klaim gagal bayar hingga Rp2,43 miliar. 

Dia hanya menyatakan, tanggung jawab penjaminan merupakan amanah Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

“Saya harus meninjau [data] lagi [mengenai risiko ini]. [Tetapi] kalau terkait penyelesaian [yaitu BPR] yang kemudian ditangani LPS, tentu ada kewajiban penjaminannya dan tidak ada masalah,” ujarnya. 

Sebelumnya, Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK Aman Santosa juga mengatakan, berdasarkan temuan BPK, OJK menerbitkan POJK Nomor 28 Tahun 2023. 

Pasal 21 POJK tersebut menegaskan larangan kegiatan penggalangan dan penyaluran dana merupakan salah satu tindakan pengawasan OJK yang dapat diperintahkan kepada Bank Dalam Sehtan.

“OJK dan LPS juga memperbarui Nota Kesepahaman tertanggal 14 September 2023 dalam MOU-9/D.01/2023,” jelasnya. 

Dalam dokumen tersebut disebutkan bahwa OJK selalu memberitahukan kepada LPS mengenai perubahan status pengawasan bank dan tindakan pengawasan terhadap bank dalam rangka restrukturisasi OJK. OJK selalu berkoordinasi dengan LPS secara berkesinambungan berdasarkan Nota Kesepahaman tersebut di atas.

Seperti diketahui, BPK IHPS menilai OJK tidak melakukan pengawasan penuh terhadap penghimpunan dan pencairan dana BPR/BPRS yang berstatus Bank Pengawasan Khusus (BDPK). 

“Pada saat bank tersebut ditetapkan status BDPK, masih terdapat penghimpunan dana dalam bentuk tabungan dan deposito senilai Rp2,43 miliar di 3 BPR/BPRS,” tulis BPK dalam laporannya, dikutip Rabu (6/5/2024). ). 

Selain itu, penelusuran lebih lanjut terhadap mekanisme pembayaran DPK yang dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengungkapkan bahwa LPS tidak mendalami pembentukan simpanan baru dalam jangka waktu interim bank yang berstatus BDPK hingga bank tersebut membatalkannya. Lisensi Komersial (CIU).  

Akibatnya, tindakan tersebut dapat meningkatkan risiko kemungkinan klaim LPS yang tidak patuh senilai Rp 2,43 miliar. 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel