Bisnis.com, JAKARTA – Presiden dan CEO PT XL Axiata Tbk. Dian Siswari dan Direktur dan CEO PT Indosat Tbk. Danny Buldansyah berharap Menteri Komunikasi Digital Meutya Hafid siap mengkaji peraturan biaya yang dikenakan kepada operator seluler. 

Rasio biaya regulasi terhadap pendapatan operator seluler di Indonesia saat ini berada pada angka 13-14%. 7% lebih tinggi dari rata-rata biaya regulasi di Asia Tenggara. 

Dian mengatakan biaya regulasi, termasuk biaya spektrum BHP, terlalu memberatkan bagi perusahaan telekomunikasi di lingkungan industri yang tidak stabil.

Biaya regulasi yang tinggi menghambat upaya perusahaan untuk memperluas jaringannya hingga ke wilayah pedesaan. 

“Pertama, dari segi regulasi fee, saat ini 13-14% dari pendapatan. Itu akan menyulitkan kita untuk mengembangkan infrastruktur lebih lanjut,” ujarnya dalam jumpa pers di Ogyakarta, Rabu. Oktober 2024).

Dian juga mengatakan biaya regulasi yang tinggi akan memperlambat adopsi teknologi yang cepat karena operator tidak memiliki sumber daya untuk melakukan ekspansi.

Menurutnya, peluncuran jaringan 5G membutuhkan investasi besar. Jika biaya regulasi tetap tinggi, 5G hanyalah mimpi belaka.

Pada kesempatan lain, Danny Buldansyah, direktur dan chief operating officer Indosat Ooredoo Hutchison, menyampaikan keinginan yang sama untuk membentuk kembali sektor telekomunikasi dengan meninjau ulang biaya regulasi.

Saat ini ada beberapa hal yang kurang penting dibandingkan komponen biaya regulasi.  

Menurut dia, biaya regulasinya 10%, bukan 12-13%. “Mungkin paling banter 6 atau 7 persen,” kata Danny. 

Sebelumnya, dalam acara Bisnis Indonesia Forum (BIF), isu terkait broadband fiber di era Prabowo-Gibran diharapkan dapat terselesaikan, terutama terkait regulasi.

CEO APJATEL Jerry Siregar mengatakan industri telekomunikasi masih menghadapi beberapa permasalahan yang belum terselesaikan, seperti perizinan dan penyewaan sistem utilitas terintegrasi.

 “Sewa utilitas bertentangan dengan para pemimpin lokal,” kata Jerry.

Jerry mengatakan, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permanen) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Peraturan Pengelolaan Barang Milik Daerah Nomor 7 Tahun 2024 mengubah posisi Menteri Dalam Negeri.

Pasal 128, 6, dan 7 KUHP menyatakan bahwa pemerintah daerah tidak boleh menggunakan agregasi jaringan serat optik kecuali Pemerintah Provinsi (Pemda) dan Kotamadya (Pemkot) menerapkan atau membangun fasilitas jaringan utilitas terpadu. mempekerjakan. 

“Tetapi kalau mereka atau pemerintah daerah membangun fasilitas utilitas terpadu, tarif sewanya antara 4 hingga 16 persen,” ujarnya. 

Simak berita dan artikel lainnya dari Google News dan WA Channel.