Bisnis.com, Jakarta – Proporsi kredit bermasalah (NPL), termasuk kredit macet, pada usaha kecil dan menengah (UMKM) meningkat karena kondisi usaha yang tidak menentu di masa wabah Covid-19.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyusun aturan yang mencakup pemotongan dan pengurangan kredit macet bagi UMKM.

Berdasarkan data OJK pada Mei 2024, rasio NPL UMKM mencapai 4,27%, sedikit meningkat dibandingkan bulan sebelumnya atau April 2024 sebesar 4,26%. NPL UMKM juga tumbuh lebih cepat pada tahun berjalan atau dibandingkan Desember 2023 yang masih sebesar 3,71%.

Amin Noordin, Senior Fellow Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), mengatakan peningkatan NPL UMKM terjadi ketika UMKM belum pulih 100% pasca Covid-19.

“Bank menjadi lebih berhati-hati karena kondisi ini,” katanya kepada Business baru-baru ini. 

Ketika kredit macet usaha kecil dan menengah meningkat, tentu saja terdapat usulan untuk menutup pembukuan dan mengambil tindakan untuk menghapuskan penerimaan. Wakil Ketua Komite Keenam DPR Sarmuji mengatakan selesainya program restrukturisasi kredit Covid-19 pada Maret 2024 akan membawa konsekuensi bagi perbankan.

“Saya khawatir UMKM yang lahir atau memberi pinjaman di masa pandemi ini posisinya sulit, besar kemungkinannya akan gagal,” ujarnya saat rapat di DPR RI, 8 Juli 2024. Syarat-syarat penutupan buku dan penutupan penagihan utang 

Menurutnya, usaha kecil dan menengah sulit mengembalikan pinjamannya karena kondisi yang tidak terkendali seperti dampak pandemi Covid-19. Dia pikir itu tidak disengaja, tapi karena dia tidak bisa melanjutkan.

“Kalau tidak ada keputusan [dari bank], maka akan bubar dan tidak akan pernah berakhir,” ujarnya.

Komisi Keenam mengusulkan agar Bank menerapkan kebijakan penghapusan dan penghapusan kredit macet bagi usaha kecil dan menengah. Prinsip ini dapat diterapkan dengan kriteria seleksi yang kuat melalui verifikasi, terutama bagi nasabah yang nilai pinjamannya mulai dari Rp 25 juta hingga maksimal Rp 50 juta. 

Ia mengingatkan, harus ada kejelasan nasib usaha kecil menengah yang memiliki pinjaman perbankan. Usaha kecil dan menengah tidak dapat lagi menjalankan usahanya karena beban kredit macet yang ditanggung bank.

“Selama pinjaman merek tidak dilunasi, meski gagal karena wabah atau musibah, mereka [UMKM] tidak bisa lagi mengecek usahanya karena kredit macet,” kata Sarmuji.

Selain itu, menurut dia, bank sudah mempunyai cadangan yang kuat untuk menerapkan kebijakan penghapusan kredit macet.

RUU bocor dari OJK

OJK sebenarnya telah menetapkan kebijakan bagi UMKM untuk menghapus buku dan menghapus tagihan kredit macet. Terdapat rancangan peraturan OJK (RPOJK) tentang pemberian kemudahan pembiayaan bagi usaha kecil dan menengah.

Pada ketentuan ini, Bab VII membahas tentang pemotongan dan pembayaran pembiayaan UMKM. Pasal 28 menyebutkan, untuk mendukung kelancaran pembiayaan usaha kecil dan menengah, lembaga jasa keuangan dapat memotong dan membatalkan kredit macet.

Selanjutnya pada Pasal 29 lembaga jasa keuangan mempunyai kebijakan dan prosedur tertulis terkait pemotongan dan pembayaran pembiayaan UMKM yang disusun sesuai dengan standar akuntansi keuangan.

Kebijakan dan prosedur penarikan dan pemotongan harus dipatuhi seminimal mungkin

1. Kriteria dan persyaratan pembiayaan yang dapat dihentikan dan dapat dilakukan pemotongan;

2. Batasan keuangan yang dapat dicabut dan dihentikan;

2. Hak untuk menyetujui pemotongan dan penerapan pemotongan; Dan

4. Tata cara penerapan pemangkasan dan pemangkasan.

Pasal 30 juga menyebutkan bahwa lembaga jasa keuangan mempunyai tanggung jawab untuk mengelola data dan informasi terkait keuangan yang telah dicabut dan dimusnahkan.

Kemudian pada Pasal 31 dijelaskan lembaga jasa keuangan milik pemerintah yang melakukan pemotongan dan/atau pemotongan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu, peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) dan peraturan pelaksanaannya.

Sebelumnya, Direktur Utama OJK Dian Adina Roy mengatakan, sebenarnya bank swasta biasa menutup pembukuan UMKM dan menghapus tagihan kredit macet.

Namun, yang menjadi tantangan bagi bank-bank BUMN adalah ketika undang-undang ini mulai berlaku.

“Ini kasus Himbara [Himpunan Perbankan Negara] yang menjadi milik pemerintah, itu unsur uang negara [misalnya] milik negara disisihkan [artinya],” ujarnya seraya menambahkan bahwa posisi kepemilikan negara sulit. bank 

Menurut Dian, hal ini menjadi permasalahan besar karena Himbara tidak boleh dianggap sebagai kerugian negara saat melaksanakan evakuasi dan pemotongan. 

“Nah, itu yang mereka [Himbra] khawatirkan menjadi masalah utama, sehingga bank-bank swasta bisa menutup pembukuannya setiap hari,” imbuhnya.

Oleh karena itu, ketentuan tersebut bertujuan untuk mengatasi kesulitan bank pemerintah atau BUMN dalam melaksanakan angsuran dan pengurangan kredit macet bagi usaha kecil dan menengah. 

Khususnya bagi bank-bank BUMN, penyitaan kredit UMKM bukan lagi merupakan kerugian keuangan negara, melainkan kerugian yang dapat dibatasi dan diatur dengan undang-undang.

Sebagaimana diketahui, pengurangan ini tidak menghapuskan kewajiban nasabah untuk melunasi utang yang telah timbul.  

Pada saat yang sama, penagihan, atau whitewashing, adalah penulisan tagihan yang dapat memberikan pelanggan kesempatan untuk memulihkan reputasi mereka dan mendapatkan kembali kredit.

Tonton berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel