Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku usaha merespons ekspektasi belanja pajak atau insentif pajak pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto tahun depan, yakni APBN 2025 yang mencapai Rp 421,28 triliun.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sinta Wijaya Kamdani mengakui belanja fiskal masih dibutuhkan di banyak sektor. Diantaranya sektor industri pengolahan, pertanian, dan perdagangan yang menjadi penopang pertumbuhan perekonomian nasional.
Namun, menurutnya, belanja pajak harus ditingkatkan berdasarkan manfaat untuk memberikan insentif.
“Pemberian tersebut harus disesuaikan dengan kebutuhan sektor-sektor pendukung pertumbuhan ekonomi dan sektor-sektor yang pulih pasca pandemi,” kata Sinta saat dihubungi Bisnis, Rabu (5/6/2024).
Di sisi lain, Cinta juga menegaskan pemberian insentif perpajakan harus sejalan dengan kebijakan pembangunan nasional.
Penerimaan pajak harus ditingkatkan melalui kebijakan ekspansif yang mencakup sektor informal yang belum terdaftar sebagai entitas pajak.
“Pada saat yang sama, kualitas dan integritas penyelenggaraan perpajakan terus ditingkatkan, sehingga belanja pajak pun meningkat, namun dapat diiringi dengan peningkatan penerimaan pajak dari dampak pemekaran,” jelasnya.
Komite Tetap Kebijakan Publik Tiga Triwulan, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Chandra Wahjudi mengakui bahwa belanja fiskal merupakan salah satu alat untuk merangsang pertumbuhan ekonomi.
Meski demikian, Chandra juga menekankan agar belanja pajak harus diimbangi dengan penerimaan pajak. Oleh karena itu, kata dia, pemerintah sebaiknya menargetkan anggaran belanja pada sektor-sektor yang mendukung pembangunan ekonomi.
“Kalau pendapatannya kurang, maka pengeluarannya harus disesuaikan,” ujarnya.
Tawaran insentif pajak diharapkan dapat diperluas tidak hanya kepada pemangku kepentingan korporasi tetapi juga masyarakat untuk meningkatkan daya belinya. Meski mengakui insentif pajak selalu menarik bagi pengusaha, menurut Chandra, hal itu bukan satu-satunya harapan mereka.
Kebijakan yang tepat untuk kemudahan berusaha dianggap paling penting oleh para pengusaha. Ia juga menyoroti inkonsistensi pemerintah dalam mengambil kebijakan terkait peraturan impor yang harus ditinjau sebanyak tiga kali dalam waktu kurang dari tiga bulan.
“Kita lihat ada kebijakan yang diperpanjang sebanyak 3 kali dalam kurun waktu kurang dari 3 bulan, karena berujung pada pembangunan kontainer di pelabuhan. Kalau ada kebijakan yang tidak dipolitisasi atau tidak tepat, yang dirugikan pada akhirnya adalah dunia usaha. . itu tidak akan terjadi lagi,” jelasnya.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA