Bisnis.com, JAKARTA – BASF SE, produsen bahan kimia asal Jerman, berencana keluar dari proyek pabrik bahan baku aki mobil listrik di Indonesia bersama grup pertambangan logam asal Prancis, Eramet SA.

Dikutip Bloomberg, Selasa (25/6/2024), rencana BASF keluar dari proyek senilai USD 2,6 miliar atau setara Rp 42,72 triliun (asumsi kurs Rp 16.431 terhadap USD) tersebut seiring dengan menurunnya pertumbuhan penjualan. mobil listrik.

BASF mengatakan ketersediaan baterai berbasis nikel berkualitas di seluruh dunia telah meningkat sejak dimulainya proyek ini. Perusahaan tidak lagi melihat perlunya investasi sebesar itu.

Prospek mobil listrik masih rendah sejak tahun lalu. BloombergNEF menurunkan perkiraan penjualan baterai kendaraan listrik menjadi 6,7 juta kendaraan pada tahun 2026.

Penurunan ini terutama terlihat di Jerman, pasar dalam negeri BASF, dan Amerika Serikat. Perusahaan seperti Volkswagen AG, Stellantis NV dan Mercedes-Benz telah mengurangi atau mengubah desain baterai.

Berdasarkan catatan Bisnis, BASF dan Eramet menandatangani perjanjian pengembangan pabrik pelindian asam bertekanan tinggi (HPAL) dan daur ulang logam dasar (BMR) di Teluk Veda, Halmahera Tengah, Maluku Utara mulai tahun 2020.

Pabrik HPAL akan mengolah bijih nikel dari tambang Weda Bay menjadi nikel dan kobalt intermediet, sedangkan BMR akan memasok nikel dan kobalt tersebut untuk menghasilkan bahan aktif prekursor katoda (PCAM) dan bahan aktif katoda (CAM) untuk baterai lithium untuk kendaraan listrik. .

Proyek yang kemudian diberi nama Sonic Bay ini diharapkan dapat memproduksi sekitar 67.000 ton nikel dan 7.500 ton kobalt per tahun.

Pada April 2023, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menyampaikan sejumlah persoalan perizinan komitmen investasi awal pembangunan pabrik bahan baku baterai listrik oleh duo Eropa BASF dan Eramet hampir selesai. Bahlil bahkan mengatakan kedua komitmen investasi tersebut sudah bisa dilaksanakan pada awal semester II/2023.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel