Bisnis.com, Jakarta – Jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga September 2024 mencapai 54.400 pekerja. Namun, dari jumlah pekerja tersebut, baru 40.000 orang yang menerima klaim program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) BPJS, yakni tunjangan pengangguran.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan kejadian tersebut menyebabkan kepatuhan perusahaan pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS ketenagakerjaan. Oleh karena itu, Timboel berharap Kementerian Pekerjaan Umum (Kemenkar) di bawah Kabinet Merah Putih bisa memperkuat kontrol dan penegakan hukum.

“Dari total tenaga kerja yang dipekerjakan sebanyak 142,18 juta orang, namun jaminan kecelakaan kerja (OJK) dan jaminan kematian (JKM) sekitar 41,56 juta jiwa, masih belum optimal hingga akhir tahun 2023,” ujarnya kepada dunia usaha. Rabu (13/11/2024).

Dengan adanya fakta tersebut, Timboel menilai penting untuk memantau dan melaksanakan undang-undang tersebut dengan menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 86 Tahun 2013. Ketentuan ini mengatur sanksi bagi perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya dalam BPJS Ketenagakerjaan dan tidak dapat menerima pelayanan publik.

“Penting untuk memperkuat peran lembaga penegak hukum seperti pengawas ketenagakerjaan dan jaksa,” kata Timboel.

Timboel menguraikan aturan yang mewajibkan perusahaan mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS ketenagakerjaan. Misalnya PP Nomor 44 Tahun 2015 tentang Program JKK dan JKM, PP Nomor 2015 tentang Program Jaminan Pensiun (JP), PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang Program Jaminan Hari Tua (JHT), PP Nomor 37 Tahun 2021. Untuk program JKP.

Menurut dia, hal itu sebenarnya sudah diatur dengan baik dari segi regulasi. Namun, menurutnya, pemantauan dan penerapan undang-undang harus berkualitas tinggi.

“Sanksi dalam PP 86 Tahun 2013 tentang tidak menerima pelayanan publik dan sanksi dalam Pasal 55 UU BPJS tentang sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak membayar iuran BPJS ketenagakerjaan diatur dengan jelas,” kata Timboel.

Sebagai solusinya, Timboel berharap dapat lebih menyesuaikan peran Kementerian Ketenagakerjaan, khususnya Pengawasan Ketenagakerjaan. Ia kini berharap ada kementerian di kabinet baru Prabowo-Gibran.

“Sampai saat ini peran pengawas ketenagakerjaan belum berjalan dengan baik dan kurang berkualitas. Ini harusnya ditingkatkan di Kementerian Ketenagakerjaan yang baru. Pandangan regulator jelas, tapi pengawasnya kurang mumpuni,” tutupnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel