Bisnis.com, Jakarta – Ekspor tekstil dan produk tekstil meningkat baik nilai maupun volumenya pada Januari-Oktober 2024, di tengah gelombang kebangkrutan yang banyak melanda pabrik tekstil Tanah Air.
Kepala BPS Plot Amalia A. Vidyasanthi mengatakan, nilai ekspor TPT pada Januari-Oktober 2024 mencapai US$9,85 miliar. Nilai tersebut meningkat tipis sebesar 0,89% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang tercatat sebesar US$9,76 miliar.
“Untuk ekspor TPT Januari-Oktober 2023 nilainya 9,85 miliar dollar AS,” kata Amalia dalam jumpa pers di kantor BPS, Jumat (15/11/2024).
Dari sisi volume, ekspor TPT dari Indonesia juga mengalami peningkatan. Berdasarkan data BPS, volume ekspor TPT mencapai 1,61 juta kg atau meningkat 5,06% dibandingkan 1,53 juta kg pada periode yang sama tahun lalu.
Secara bulanan, nilai ekspor TPT pada Oktober 2024 mencapai US$1,01 miliar atau meningkat 6,27% dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat US$951 miliar. Produk TPT dengan nilai ekspor tertinggi adalah garmen dan aksesoris rajutan (HS61) senilai US$350 juta, disusul garmen dan aksesoris non-rajutan (HS62) sebesar US$331 juta, dan serat stapel manufaktur (HS55) sebesar US$176 juta.
Ekspor TPT mencapai 174 juta kg pada Oktober 2024, meningkat 17,68% dibandingkan September 2024 yang tercatat 148 juta kg. Pada periode tersebut, volume ekspor tertinggi berasal dari serat stapel sintetis (HS55) yakni 99,1 juta kg senilai US$176 juta.
Selain itu, benang buatan (HS54) sebanyak 17,42 juta kg, sandang dan aksesoris (woven) atau HS61 17,38 juta kg, serta kain (HS52) 14,2 juta kg.
Berdasarkan data perdagangan, banyak pabrik tekstil yang dilanda gelombang kebangkrutan. Tak hanya PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL), kebangkrutan juga menimpa beberapa pabrik lainnya seperti PT Pandanarum Kenanga Textiles (Panamatics), PT Kehia Timur Garmando (CTG), PT Sampingan Datta Penka Sakti Textiles (Dupantex), PT Alinetics, P.T. Kusumadi Santosa, PT Kusuma, Santoka dan PT Spinning Mills.
Perkembangan yang berdampak pada pabrik tekstil disebut-sebut membuat perusahaan tekstil lokal kalah bersaing dengan impor murah yang membanjiri pasar.
Namun jumlah pesanannya juga mengalami penurunan. Dampak teknologi dan media sosial terhadap praktik penjualan dan pembelian, serta dampak pandemi Covid-19 yang belum bisa pulih, juga menjadi pemicu banyak penutupan pabrik tekstil di Indonesia.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel