Bisnis.com, JAKARTA – Fitch Ratings mengingatkan rencana Presiden terpilih Prabowo Subianto yang menggabungkan Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai menjadi otoritas pajak negara justru bisa berdampak negatif terhadap penerimaan pajak. 

“Masih belum jelas bagaimana rencana presiden terpilih akan mendukung pengumpulan pendapatan jangka panjang,” kata Thomas Rookmaaker, kepala Fitch Ratings Asia-Pacific Sovereigns, seperti dilansir Bloomberg, Kamis (16/5/2025).  

Ia menilai rencana pemerintahan Prabowo Subianto yang menghapus Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dari Kementerian Keuangan justru bisa memperburuk ketidakamanan dan berujung pada gangguan operasional penerimaan pajak. 

“Dalam waktu singkat, ini [penggabungan Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai] malah bisa menimbulkan gangguan. “Untuk meningkatkan pendapatan, pemerintah harus menghilangkan pengecualian pajak dan meningkatkan kepatuhan,” ujarnya. 

Indonesia sedang berjuang untuk meningkatkan pendapatan yang sepadan dengan ukuran perekonomiannya. Fitch memperkirakan pendapatan pemerintah akan turun menjadi 14,6% dari produk domestik bruto tahun ini, terendah di antara negara-negara dengan peringkat serupa.

Metrik ini menghalangi Indonesia untuk meningkatkan peringkat kreditnya, yang berada pada level “BBB”, yaitu peringkat investasi terendah kedua, meskipun keseimbangan eksternal membaik dan pertumbuhan kuat.

Gangguan apa pun pada penerimaan pajak dapat menggagalkan rencana program Prabowo-Gibran, termasuk makan dan susu gratis untuk anak sekolah, yang bisa menelan biaya hingga Rp460 triliun.

“Program makan siang gratis memperluas defisit anggaran hingga mendekati batas legal sebesar 3% dari PDB,” kata Fitch.

Namun, Prabowo Subianto juga berjanji tidak akan menaikkan tarif pajak, meski ia berniat menaikkan tarif pajak menjadi 16% dari saat ini sekitar 10% pada masa jabatannya. Tarif pajak dinaikkan untuk menjaga defisit anggaran tetap pada batasnya.

“Sulit untuk meningkatkan bagi hasil sebesar beberapa poin persentase tanpa menaikkan pajak atau memperkenalkan pajak baru atau menaikkan tarif pajak. Ini adalah proses langkah demi langkah. Tidak ada perbaikan yang cepat,” kata Rookmaaker.

Indonesia juga perlu memantau keuangan eksternalnya, terutama karena defisit transaksi berjalan diperkirakan akan memburuk seiring dengan normalisasi harga komoditas.

Rookmaaker mengungkapkan penanaman modal asing langsung (FDI) belum meningkat meski pemerintah sudah berupaya mengajak perusahaan mendirikan pabrik peleburan nikel dan pabrik perakitan baterai mobil listrik di dalam negeri. 

“Arus masuk investasi asing kurang lebih sama seperti sebelum pandemi.” “Mereka belum menunjukkan manfaat dari pergeseran rantai pasokan,” katanya di forum Fitch Ratings. 

Untuk berita dan artikel lainnya, kunjungi Google Berita dan WA Channel