Bisnis.com, JAKARTA – Badan Kesehatan Masyarakat (BPJS) mengungkap penyebab keresahan tersebut. Diberitakan sebelumnya, BPJS Kesehatan diperkirakan mengalami defisit sebesar Rp20 triliun pada tahun ini dibandingkan belanja sebesar Rp176 triliun.

Kepala Bidang Medis BPJS Ali Gufron mengatakan, salah satu penyebab terpuruknya BPJS Kesehatan adalah meningkatnya penggunaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang juga membuat biaya pelayanan kesehatan semakin meningkat. Selain itu, klaim untuk penyakit mahal atau penyakit serius seperti kanker juga meningkat.

Gufron adalah contoh banyak orang yang menjalani pemeriksaan kesehatan di luar negeri karena penyakit kanker. Mereka memilih berobat di Indonesia melalui BPJS Kesehatan.

“Yang jelas, kepercayaan masyarakat saat ini sangat tinggi. Misalnya saya mohon maaf, masyarakat di luar negeri yang terdiagnosis kanker di sana, pulang kampung dan pakai BPJS,” kata Ghufron usai rapat dengar pendapat. RDP) dengan Komisi IX DPR RI di Jakarta, Rabu (13/11/2024).

Namun yang jelas Ghufron menyebut penyebab utama ancaman krisis kesehatan BPJS adalah penggunaan yang semakin meningkat. Peningkatan pemanfaatan dalam konteks BPJS Kesehatan adalah peningkatan frekuensi atau jumlah penggunaan pelayanan kesehatan oleh anggota. Artinya semakin banyak anggota yang datang ke puskesmas untuk berobat, tes atau pengobatan yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan.

“Tapi yang jelas kegunaannya. Karena dulu bebannya naik, per hari hanya 252 ribu. Sekarang 1,7 juta per hari,” ujarnya. 

Untuk mengatasi ancaman defisit, Ghufron mengatakan program menutup defisit tidak hanya berupa kenaikan iuran tunggal, BPJS Kesehatan mempunyai keistimewaan lain untuk mengatasi defisit tersebut. Salah satunya adalah pemberlakuan cost sharing atau pembagian biaya antara BPJS Kesehatan dan anggota. Banyak negara telah menerapkan pengurangan biaya bersama, namun Indonesia belum memiliki kebijakan seperti itu. 

“Jadi idenya setiap datang ke rumah sakit harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, tidak berat tapi bisa dikelola. Ada dua tujuan. “Pertama, tentang pengurangan konsumsi, dan kedua, tentang pengumpulan uang,” kata Gufron. 

Sebelumnya, Dewan Hak Sipil Indonesia (DPR) juga menyoroti ancaman kelangkaan terkait BPJS Kesehatan, dan kemungkinan kenaikan harga sebagai salah satu cara mengatasi permasalahan tersebut.

Anggota Komite IX DPR RI Edy Wuryanto mengatakan, isu kenaikan harga merupakan isu sensitif sehingga meminta BPJS Kesehatan berhati-hati dalam mengambil keputusan tersebut.

“Saya kira kita harus hati-hati [kenaikan gaji], apalagi Pak Prabowo sudah menjabat. Soal kenaikan gaji itu sangat sensitif, terutama bagi anggota swasta,” kata Eddy saat berbicara di sela-sela RDP dan Penyuluhan BPJS Kesehatan. . 

Eddy juga mengakui, kenaikan harga tidak bisa dihindari sesuai rencana, dan kenaikan iuran BPJS Kesehatan terakhir terjadi pada tahun 2020.  Undang-undang baru saja menyebutkan bahwa kenaikan harga harus ditinjau ulang setiap dua tahun sekali.  

“Saya kira itu sudah jelas, tapi kita harus hati-hati dengan pengumuman inflasi,” kata Eddy. 

Sementara itu, Ekonom UPN dan Pakar Kebijakan Publik Jakarta, Achmad Nur Hidayat sebelumnya mengatakan peningkatan iuran BPJS kesehatan merupakan kesempatan terakhir untuk mengatasi ketimpangan di tahun 2026. 

Menurut Achmad, kenaikan upah akan berdampak langsung kepada masyarakat, khususnya pekerja informal dan tidak dibayar. Meningkatnya pendapatan menyulitkan anggota dari kelompok ekonomi lemah untuk membayar iuran bulanan, sehingga menyebabkan penurunan jumlah anggota. 

Selain itu, kenaikan harga juga menambah beban pengeluaran rumah tangga sehingga dapat menimbulkan permasalahan sosial. Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, inflasi dapat menurunkan daya beli uang yang dipengaruhi oleh inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok. 

Oleh karena itu, penggalangan dana sebagai upaya terakhir sebaiknya hanya dilakukan ketika tidak ada pilihan lain, kata Achmad.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel