Bisnis.com, Jakarta – Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mengungkapkan Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur Indonesia mengalami kontraksi hingga 48,9 pada Agustus 2024 akibat kondisi global. 

Hal ini tidak terlepas dari menurunnya kinerja sektor manufaktur global di tengah tekanan permintaan, kata Kepala BKF Fabrio Cacaibu. Meski demikian, pihaknya tetap optimistis terhadap manufaktur Indonesia yang mencatatkan pertumbuhan di beberapa sektor utama.

“Di tengah perlambatan PMI Indonesia, kinerja beberapa industri utama Tanah Air masih tetap optimis,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (3/9/2024). 

Industri-industri ini di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan Bapak Mulyani termasuk industri makanan dan minuman serta bahan kimia farmasi, yang akan tumbuh stabil sebesar 5% (tahun ke tahun/tahun) hingga kuartal pertama tahun 2024. Faktanya, industri logam primer tumbuh sebesar 18,1% dengan sebagian besar proses hilirnya menunjukkan hasil. 

Namun, pemerintah tetap fokus pada industri terbelakang yang menghadapi tantangan serius. 

Seperti industri padat karya seperti tekstil dan industri tekstil (TPT) serta alas kaki yang saat ini menghadapi tantangan berat. Tidak hanya kinerja ekspor, barang impor juga mempengaruhi daya saing di pasar dalam negeri. 

“Pemerintah terus berupaya meningkatkan daya saing industri dengan bauran kebijakan yang berbeda,” kata Fabrio.

Saat ini, untuk menjaga daya saing produk TPT, pemerintah telah menerapkan Tarif Pengamanan Impor (BMTP) pada TPT hingga November 2024.  

Barang lain yang akan menerima BMTP pada bulan Mei 2026 adalah tirai, kelambu, dan benang dari serat stapel sintetik dan buatan. Kemudian tekstil dan karpet hingga Agustus 2027. 

Selain itu, pemerintah juga menerapkan bea masuk anti dumping (BMAD) hingga Desember 2027 terhadap produk serat stapel (benang) poliester yang berasal dari India, Tiongkok, dan Taiwan. 

Kebijakan tersebut bertujuan untuk melindungi dan meningkatkan daya saing industri TPT dalam negeri yang memiliki serapan tenaga kerja besar.

Sementara Indonesia menjadi satu-satunya negara yang menghadapi kontraksi ini. Hal ini terjadi bahkan ketika negara-negara mitra dagang dan kawasan ASEAN menghadapi tantangan serupa, termasuk Amerika Serikat (48,0) dan Jepang (49,8).

Aktivitas manufaktur di kawasan ASEAN dan negara-negara mitra dagang, termasuk Amerika Serikat (48,0) dan Jepang (49,8), menghadapi tantangan serupa. Negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Australia juga mengalami kontraksi PMI manufaktur masing-masing ke level 49,7 dan 48,5. 

Ke depan, Fabrio menegaskan, pemerintah akan semakin meningkatkan dampaknya terhadap produksi dalam negeri akibat lemahnya pertumbuhan ekonomi di China, Eropa, dan Amerika. 

Berdasarkan Laporan Global S&P terkini, Senin (2/9/2024), indeks yang menggambarkan aktivitas manufaktur nasional turun menjadi 49,3 dibandingkan bulan sebelumnya.  

Paul Smith, direktur ekonom di S&P Global Market Intelligence, mengatakan pada Agustus 2024 terjadi penurunan signifikan dalam pesanan dan produksi baru dalam perekonomian manufaktur Indonesia selama 3 tahun. Produksi produk dan pesanan baru pada Agustus 2024 mengalami penurunan terbesar sejak Agustus 2021.

Simak Google News dan berita serta artikel lainnya di channel WA