Bisnis.com, Jakarta – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS mengungkapkan rencana perubahan retribusi kesehatan atau kenaikan iuran BPJS. 

Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Gufaron Mukti menilai perubahan tarif baru akan ditetapkan pada pertengahan tahun 2025, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpress) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Untuk iuran tarif baru, paket manfaat dan tarif, layanan ini berlaku efektif mulai 1 Juli 2025.

Penyesuaian tarif ini dipandang perlu untuk menjamin keberlangsungan program JKN karena adanya potensi ketidakseimbangan antara penerimaan iuran dan biaya klaim.

“Tarifnya akan diatur dalam Perpres 59 [2024], nanti tanggal 30 Juni atau 1 Juli 2025 akan ditentukan secara kasar iuran, paket manfaat, dan tarifnya,” kata Gaffron dalam pertemuan usai pembukaan penyakit tersebut. Buku jadwal Indonesia. Oleh Badan BPJS Kesehatan dan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPENUS) di Dushanbe, Jakarta (11/11/2024). 

Di sisi lain, Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan Mahleel Ruby mengatakan, penetapan besaran iuran merupakan keputusan pemerintah yang melibatkan peran serta berbagai kementerian dan lembaga, termasuk Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Ada Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Kesehatan Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenkeu PMK).

Menurut dia, faktor politik mempengaruhi penetapan pembayaran tersebut, termasuk beban ekonomi masyarakat. 

“Itu persoalan politik. Kalau presiden tidak mau menaikkan tarif, uangnya dari mana? Boleh saja memberi subsidi tanpa membebani rakyat. Tapi semua kembali pada keputusan presiden.” Mahalil menjelaskan.

Meski BPJS Kesehatan tidak mengupayakan subsidi langsung, Mahleel mengakui opsi subsidi bisa menjadi solusi untuk menutupi kekurangan yang terjadi jika iuran tidak ditingkatkan. Kajian yang dilakukan tim keberlanjutan DJSN menunjukkan bahwa BPJS Kesehatan berpotensi melakukan penyesuaian besaran iuran sekitar 10% untuk menjaga stabilitas keuangan.

Mahlil menegaskan, pembahasan mengenai penyesuaian besaran iuran saat ini sedang berlangsung dan dalam tahap pembahasan yang intens di antara berbagai pemangku kepentingan. Keputusan akhir akan bergantung pada penelitian yang disampaikan kepada Presiden, termasuk rekomendasi white paper yang disiapkan tim DJSN.

Sebelumnya, BPJS Kesehatan melaporkan rasio kerugian aktuaria semakin melebar. Hal ini menunjukkan bahwa klaim atau biaya manfaat yang dibayarkan oleh instansi pemerintah melebihi pendapatan premi yang diterima. 

Mahalil mengungkapkan rasio kerugian aktuaria JKN berada di atas 100%. 

“Tahun 2023 ada death cross, artinya mulai tahun 2023 antara biaya [pembekuan] dan premi [iuran], biayanya lebih tinggi. Jadi, yang kita sebut rasio kerugian aktuaria akan lebih dari 100%. Semakin tinggi, semakin tinggi,” kata Mahlil

Menurut Mahlil, situasi tersebut dapat mengancam keberlangsungan Dana Jaminan Sosial (DJS) BPJS Kesehatan. Dengan ketidakpastian ini, bisa saja terjadi defisit pada tahun 2025 atau 2026 karena beban operasional melebihi pendapatan.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan Channel WA