Bisnis.com, JAKARTA – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS) merilis suara mengenai tingkat pengajuan jaminan kematian (JKM) yang diproyeksikan mencapai 100% mulai tahun 2026.
Berdasarkan prakiraan pemerintah, tingkat klaim JKM akan mencapai 113,2% pada tahun 2026, kemudian memburuk menjadi 118,5% pada tahun 2027, 122,2% pada tahun 2028, dan 124,6% pada tahun 2029.
“Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain semakin banyaknya pekerja yang ditanggung BPJS Ketenagakerjaan. Selain itu, manfaat seperti tunjangan anak mulai TK hingga perguruan tinggi juga ditingkatkan dalam skema jaminan kematian,” kata BPJS Ketenagakerjaan. Deputi Komunikasi Oni Marbun di bidang bisnis, Rabu (04/09/2024).
Meski ada risiko beban klaim JKM lebih tinggi dibandingkan pendapatan investasi, Oni mengatakan peningkatan porsi klaim JKM merupakan wujud kehadiran negara dalam memberikan perlindungan kepada seluruh pekerja, apa pun pekerjaannya.
Perlindungan ini, kata dia, tidak hanya berlaku bagi pekerja upahan atau pekerja formal, namun juga bagi bukan penerima upah (PBPU) atau pekerja informal.
Rasio kerugian JKM diperkirakan masih aman pada tahun ini sebesar 91,4%, meski dalam tren meningkat. Sedangkan proyeksi kekayaan bersih Dana Jaminan Sosial (DJS) program JKM pada tahun 2024 sebesar 8,20 triliun rupiah dan diperkirakan masih positif pada tahun 2025.
Meskipun aset bersih program DJS JKM diperkirakan masih positif pada tahun 2025, namun jika rasio klaim program JKM tidak dapat dikendalikan, maka besar kemungkinan akan terjadi defisit pada tahun 2027.
Berdasarkan laporan keuangan BPJS Ketenagakerjaan yang telah diaudit tahun 2023, kekayaan bersih DJS program JKM mengalami penurunan sebesar 0,29 persen year-on-year menjadi Rp10,78 triliun pada tahun 2023 dari Rp10,81 triliun pada tahun 2022.
Program DJS JKM tahun berjalan mencatat defisit sebesar Rp653,31 miliar, sehingga saldo akhir program DJS JKM tahun 2023 mencapai Rp10,12 triliun.
Pada tahun 2023, pendapatan investasi program JKM sebesar 3,55 triliun rupiah, dan belanja penjaminan sebesar 3,21 triliun rupiah. Total pendapatan sebesar 4,72 triliun rupiah, sedangkan total pengeluaran mencapai 5,38 triliun rupiah.
Akibatnya, program DJS JKM mengalami defisit tahun berjalan sebesar Rp653,31 miliar, memburuk dibandingkan defisit tahun berjalan 2022 sebesar Rp32,36 miliar.
“Ada beberapa opsi keberlanjutan dana proyek JKM yang telah kami pertimbangkan dengan mempertimbangkan beberapa aspek,” kata Oni.
BPJS Ketenagakerjaan juga berkoordinasi dengan berbagai instansi untuk menjaga keberlangsungan dana program JKM. Dia mengatakan, BPJS Ketenagakerjaan melaporkan secara triwulanan kepada Presiden dan Kementerian Ketenagakerjaan.
“Selanjutnya, hal serupa juga kami diskusikan dengan DPR dan DJSN di setiap kesempatan, termasuk diskusi dengan akademisi dan pakar mengenai keberlanjutan dana tersebut,” kata Oni.
Sementara itu, anggota Dewan Penjaminan Nasional (DJSN) Indra Budi menjelaskan, kenaikan tajam porsi klaim JKM disebabkan beban klaim yang dibayarkan BPJS Ketenagakerjaan tidak seimbang dengan pendapatan investasi.
PP 82 Tahun 2019 mengatur total santunan program JKM mencapai Rp42 juta, meliputi santunan kematian Rp20 juta, biaya pemakaman Rp10 juta, dan santunan berkala 24 bulan yang dibayarkan segera sebesar Rp12 juta.
Selain itu, ada juga manfaat berupa beasiswa pendidikan dengan batasan maksimal Rp174 juta untuk maksimal dua orang anak. Manfaat beasiswa ini diberikan kepada peserta dengan masa iuran minimal tiga tahun yang meninggal dunia akibat kecelakaan kerja atau penyakit akibat kecelakaan.
Peraturan ini merupakan revisi pertama dari PP 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Skema Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian.
Pada revisi pertama, nilai manfaat JKM mengalami kenaikan, namun iurannya tetap berlaku pada ketentuan lama, yaitu iuran JKM untuk PBPU sebesar Rp6.800 per bulan, sedangkan untuk Penerima Upah (PPU) sebesar 0,3% per bulan. jumlah bulanan. gaji
Terkait kecilnya kontribusi faktor pendapatan, permasalahan lainnya adalah longgarnya aturan yang diterapkan oknum oknum yang menerima pasien kritis sebagai peserta JKM.
“Bayangkan seseorang yang membayar hanya untuk satu atau dua bulan lalu meninggal. Artinya dia bayarnya cuma Rp 6.800 atau paling lama tiga bulan, Rp 6.800 dikali tiga bulan jadinya Rp 42 juta, ”kata Indra kepada Bisnis, Selasa. (03/09/2024).
Sebagai solusinya, DJSN mengusulkan perubahan ketiga PP 44 Tahun 2015. Sebagaimana aturan perubahan kedua yakni PP 49 Tahun 2023 hanya mengatur kepesertaan JKK dan JKM dari sektor PNS non-ASN.
Sementara itu, BPJS Watch menyoroti setidaknya ada tiga aturan yang berlaku dalam keberlanjutan dana JKM. Pertama adalah PP Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Aturan tersebut mengatur, sumber pendanaan JKP diambil dari restrukturisasi investasi JKM dengan tingkat bunga 0,10%.
Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch, menyarankan revisi ketentuan ini dengan mengganti sumber pendapatan yang dimodifikasi dengan Asuransi Kecelakaan Kerja (JKK). Keputusan kedua adalah PP Nomor 82 Tahun 2019 tentang Besaran Manfaat JKM.
Peraturan ketiga adalah PP Nomor 49 Tahun 2020 tentang Penyesuaian Iuran Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan pada saat terjadi bencana alam akibat penyebaran Covid-19. Ketentuan ini memberikan pembebasan iuran JKM sebesar 99% mulai Agustus 2020 hingga Januari 2021.
Jika kondisi tersebut tidak kunjung membaik, Timboel memperkirakan aset JKM BPJS Ketenagakerjaan mungkin akan defisit pada tahun 2027.
“Ya diprediksi tahun 2027 akan terjadi defisit. Rasio kerugian akan lebih dari 100%. Artinya, keberlangsungan dana JKM terus menurun. Dan itu tidak terlalu bagus dalam hal cadangan. Karena kestabilan dana bisa menjamin pembayaran klaim,” kata Timboel.
Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel