Bisnis.com, JAKARTA- Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) belum menyampaikan usulan revisi Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 5 Tahun 2022 tentang Produk Asuransi Link Investasi (PAYDI). Usulan itu diajukan karena premi produk satuan terus tergerus. 

Saat ini, AAJI mencatatkan premi obligasi mencapai Rp 36,68 triliun hingga Semester I/2024. Angka tersebut turun 13,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yakni Rp 42,56 triliun. 

Ketua Dewan Direksi AAJI, Budi Tampubolon mengatakan, banyak perusahaan asuransi kesehatan yang memilih menolak usulan tersebut. Hal itu terungkap dalam pertemuan AAJI dengan pimpinan perusahaan asuransi jiwa akhir Juni lalu. 

“Akhirnya kami tidak melamar, karena menurut para CEO [pimpinan perusahaan asuransi kesehatan], tidak semudah itu. Maksudnya, jangan mengajukan review SEOJK PAYDI, tapi anggota yang menjual tidak banyak dan tidak nyaman dengan OJK, kata Budi saat ditemui usai kerja Semester I/2024. Konferensi pers di Jakarta, Rabu (28/8/2024). 

Namun jika prosedurnya dirasa perlu, AAJI akan membahasnya kembali. Selain itu, banyak perusahaan yang saat ini masih membutuhkan waktu untuk mengembangkan produk unit linknya menggunakan SEOJK PAYDI terbaru yang sudah live pada Maret tahun lalu. 

“Jadi malah kita harus berebut review, tapi ternyata unit link tersebut kita belum siap untuk dijual kembali, sehingga ditunda sampai semua CEO sepakat untuk “ayo” dari OJK,” ujarnya. 

Budi mengatakan, tantangan di sektor ini adalah para pemasar asuransi jiwa sudah terbiasa, terlatih dan terlatih dalam menjual asuransi unit link. Premi terkait menyumbang sekitar 70% dari total premi di industri asuransi jiwa, namun saat ini preminya hanya mendekati 40% dari seluruh premi. 

“Jadi diperlukan lebih banyak pelatihan,” katanya. 

Budi mengatakan bagi asosiasi, produk tradisional dan produk unitrelated semuanya baik untuk pertumbuhan. Meski demikian, Budi mengatakan industri tidak boleh lengah jika ada sesuatu yang terlalu dominan, terutama produk-produk kekinian. Budi mengatakan, jika produk tradisional mulai mendominasi perusahaan asuransi, maka produk tersebut harus menjadi pilihan investasi yang tepat. 

Ia khawatir jika tidak diimbangi dengan investasi yang tepat, tata kelola tradisional dapat menimbulkan permasalahan lain di industri. Oleh karena itu, lanjut Budi, pihak organisasi berharap adanya keseimbangan antara produk terkait unit dan produk tradisional. 

“Keseimbangan antara unit dan tradisi juga penting untuk dijaga, meski itu juga keputusan pelanggan,” ujarnya.

Budi mengatakan, pelanggan yang lebih tua lebih menyukai produk tradisional. Saat itu, nasabah kecil bisa memilih pihak yang menawarkan investasi. Ia pun meyakini masih ada peluang untuk meningkatkan persatuan. 

“Mungkin tidak semudah itu, masih butuh waktu. Memang masih akan turun lagi, tapi kalau kita lihat generasi baru semakin berkembang, semakin besar dan memilih segala aspek untuk lebih berkuasa, maka orang kadang naik lagi, katanya. 

Seperti diberitakan sebelumnya, AAJI akan membahas ketiga permasalahan tersebut dengan pimpinan perusahaan asuransi jiwa dalam waktu dekat. Menurutnya, ada tiga hal yang dibicarakan. 

Pertama, adanya perusahaan yang mengeluhkan perpindahan merek asuransi dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Meski mengikuti aturan yang sama, aturan yang ada saat ini jauh lebih tua. Oleh karena itu, organisasi tersebut khawatir undang-undang tersebut tidak lagi sesuai dengan kondisi saat ini. 

“Kalau ada kesepakatan yang lebih baik, maka akan baik bagi kedua belah pihak, baik bagi industri asuransi, dan mudah-mudahan baik bagi masyarakat,” kata Budi pada 20 Juni 2024. 

Dengan adanya undang-undang baru ini, Budi mengatakan ada harapan bagi agen asuransi untuk menghindari perusahaan mencoba meyakinkan pelanggannya untuk mengalihkan polisnya ke perusahaan baru. Hal ini membuat persaingan antar perusahaan asuransi jiwa menjadi sehat. 

Tantangan kedua terkait produk asuransi unit di industri asuransi jiwa. Budi mengatakan kelompoknya juga menggalakkan unit penyusutan yang memadukan produk premium dan tradisional yang terus meningkat. 

Budi mengatakan maraknya produk tradisional sebenarnya bukan hal yang buruk, namun ia khawatir jika perusahaan asuransi jiwa terlalu banyak berkutat pada produk tradisional dan pengelolaannya tidak tepat maka dampaknya akan lebih besar dibandingkan perusahaan dominan. . dan koordinat satuan. 

“Kalaupun dikelola dengan baik, kalau peluang investasi jangka panjangnya terbatas, itu tidak benar. Itu yang harus kita bicarakan bersama, bagaimana menjaga keseimbangan keduanya, itu penting. keseimbangan jadi ini yang ingin kami sampaikan ke CEO,” kata Budi 

Ketiga, lanjut Budi, terkait inflasi medis yang terus meningkatkan klaim kesehatan di industri asuransi jiwa dalam beberapa tahun terakhir. Kelompoknya ingin mendiskusikan bagaimana menanggapi tantangan ini ketika inflasi layanan kesehatan lebih tinggi dari inflasi nasional. 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel