Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah masih mematangkan aturan mengenai pembatasan pembelian bahan bakar minyak (BBM), perlite, dan solar bersubsidi. Penyusunan peraturan ini hampir selesai.

Sementara itu, rencana pembatasan subsidi Pertalite dan Solar akan dilakukan melalui perubahan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 (Perpres) tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Rincian BBM yang berlaku mulai pertengahan tahun 2022. Namun, ketika Partai Demokrat mendapatkan momentum untuk merayakan keputusan tersebut pada awal tahun ini, diskusi mengenai perombakan peraturan tersebut terhenti.

Baru-baru ini, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menyatakan bahwa pembahasan perubahan Perpres No. 191/2024 dipercepat mengikuti instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mempercepat penerbitan peraturan ini. Rancangan perubahan Perpres tersebut kini menunggu persetujuan Menteri Koordinator Perekonomian. Urgensi pembatasan Pertalite

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berulang kali menyampaikan keprihatinan atas kebuntuan pembahasan perubahan Perpres Nomor 191 Tahun 2011 Tahun 2024 Setiap akhir tahun, konsumsi BBM bersubsidi melebihi atau menambah kuota.

Perubahan Perpres Nomor RUU 191 Tahun 2024 dinilai mendesak di tengah meningkatnya tren peningkatan konsumsi BBM bersubsidi dalam beberapa waktu terakhir. Pemerintah juga mempertimbangkan pembenahan kriteria konsumen yang boleh mengonsumsi Pertalite dan solar bersubsidi.

Dalam kerangka makroekonomi dan prinsip kebijakan fiskal tahun 2025, pemerintah juga mengindikasikan akan mengendalikan dan mengkompensasi subsidi bahan bakar perlit dan solar dengan mengendalikan kategori konsumen.

Pemerintah menyebut saat ini Solar dan Pertalite dijual di bawah harga keekonomian sehingga mengharuskan APBN membayar ganti rugi. Volume konsumsi tenaga surya dan pertalite terus meningkat, dan beban subsidi serta kompensasi semakin meningkat dan dirasakan oleh sebagian besar rumah tangga makmur.

Upaya pengendalian konsumen ini diharapkan dapat mengurangi konsumsi solar dan perlite sebesar 17,8 juta kiloliter per tahun.

Plt. Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengatakan kementeriannya telah menerima gambaran matriks kelompok konsumen yang dapat memperoleh manfaat dari bahan bakar bersubsidi.

Rabu (29/5/2024) VII, saat rapat dengan Komisi Pemprov DKI Jakarta (DPR) “termasuk mekanisme yang menjamin kuota bisa dipertahankan.”

Selain itu, Dadan mengatakan kementeriannya menggunakan alat digital untuk memfasilitasi proyek-proyek yang membatasi pembelian kedua jenis bensin tersebut.

“Kami sedang memikirkan bagaimana teknologi dapat membantu kami, baik itu barcode atau semacamnya,” katanya.

Sebelumnya, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi atau BPH Migas telah mengusulkan sejumlah kriteria kendaraan yang dilarang membeli bahan bakar solar dan perlite.

“Sesuai JBKP [Pertalite], ada pembatasan untuk semua sepeda motor kecuali yang di atas 150 CC,” kata Anggota Panitia BPH Migas Abdul Halim saat diskusi online Indef, Selasa (14/2/2023).

Selain itu, semua kendaraan roda empat dengan nilai oktan (RON) 90 dilarang membeli bensin, tambah Abdul. Namun opsi kedua tetap tersedia dengan pengaturan kapasitas mesin maksimal 1.400 cc.

“Mobil berpelat hitam ada dua opsi: dilarang semua mobil berpelat hitam, atau opsi dua mobil berkapasitas mesin maksimal 1.400 cc,” ujarnya.

Di sisi lain, kata dia, JBT Solar juga akan membatasi pembelian secara ketat. Dia mengatakan, misalnya, pembatasan akan diterapkan pada kendaraan individu berpelat hitam kategori pick-up berpenggerak empat roda. Batasan ini tidak berlaku untuk van kabin ganda.

“Jadi angkutan umum pelat kuning, karena semuanya gratis, pantas kita tawarkan ke JBT,” ujarnya.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel