Bisnis.com, Jakarta – Pelaku satelit prihatin dengan kehadiran Starlink milik Elon Musk yang menyasar pasar ritel dan korporasi. Starlink dengan cepat menangkap pasar satelit geostasioner (GSO) dengan harga yang relatif rendah. Satria-2 menimbulkan pertanyaan mengenai masa depan proyek dan pasar satelit Satria-1.
Satria-1 merupakan proyek strategis nasional (PSN) dengan biaya pembangunan Rp 8 triliun. Satelit 150 Gbps ini berhasil diluncurkan tahun lalu dan melayani 37.000 lokasi, masing-masing menerima kecepatan internet 4 Mbps – 20 Mbps. Lebih lambat dari Starlink yang mampu mencapai kecepatan lebih dari 200 Mbps hingga titik tertentu.
Dalam perkembangannya, Badan Komunikasi dan Akses Informasi (BAKTI) berencana menambah satelit baru bernama Satria-2.
Pada 15 Desember 2023, Kepala Departemen Infrastruktur Satelit Satria Bakti Kominfo, Bapak Sanrama Aredia mengatakan, pengadaan satelit Satria-2 bergantung pada pinjaman luar negeri. Satelit ini direncanakan menelan biaya Rp 13,7 triliun atau US$884 juta, sudah termasuk biaya stasiun bumi.
“Negara asing yang punya teknologi ini adalah China, AS, Inggris, dan Prancis. Jadi nanti satelitnya akan dibangun di sana menggunakan teknologi mereka,” kata Aradia kepada Bisnis, Jumat (15/12/2023).
Keempat negara ini memiliki teknologi terbaik untuk satelit ini.
Satriya-II merupakan bagian dari rencana strategis Kementerian Komunikasi dan Informatika (Renstra) 2020-2024. Satria-2 2 kali lebih cepat dibandingkan Satria-1 yakni 300 Gbps. Tujuan dari satelit ini adalah untuk menyediakan internet yang lebih andal di daerah pedesaan.
Sayangnya, sebelum proyek tersebut dibahas sepenuhnya, pemerintah membuka diri terhadap Elon Musk untuk mengambil “kue” pemain satelit dalam negeri melalui Starlink.
Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) melaporkan bahwa banyak pelanggan VSAT dari lembaga penyiaran satelit yang ada beralih ke Starlink karena harga yang ditawarkan lebih murah.
Sekretaris Jenderal ASSI Sigit Jatiputro mengatakan Internet Lokal VSAT Unlimited termurah dibanderol Rp3,5 juta per bulan, sedangkan Starlink Unlimited hanya Rp750.000 per bulan.
Begitu pula dengan stasiun penyiaran lokal yang dibandrol dengan harga Rp 9,1 juta, sedangkan iklan yang disediakan Starlink seharga Rp 4,6 juta.
Meski Starlink baru diluncurkan di Indonesia, tepatnya pada 19 Mei 2024, Sigit melihat para pemain VSAT lokal sudah melihat tanda-tanda penurunan penjualan untuk segmen korporasi dan ritel yang mereka tekuni.
VSAT jarang digunakan di ritel, kebanyakan di bisnis. Oleh karena itu, perumahan Starlink bisa digunakan untuk bisnis. “Jadi memang harga di perdagangan dan ritel lebih murah, tapi masalahnya kita akan terkena dampaknya baik di korporasi maupun ritel,” kata Seagate, Rabu (29/5) saat rapat di gedung Komisi Eropa. Pengawasan Persaingan Komersial (KPPU). di Jakarta /2024).
Nasib Satria-2
Satelit GSO dan NGSO memiliki pasar yang berbeda, kata Hiroo Sutadi, direktur eksekutif Institut Teknologi Informasi dan Komunikasi. Misalnya BRISAT, Heru, tidak akan berubah menjadi Starlink.
Sedangkan untuk pasar simpang empat bisa menjadi pasar satelit yang menyediakan layanan internet seperti Bhakti. Satelit senilai Rp 8 triliun kemungkinan besar akan terbuang percuma.
Untuk Bhakti Satelit Kesehatan, Satria akan ditambahkan pada saat Starlink masuk ke Kesehatan. Kemenkes seharusnya merasa Kemenkominfo turut membantu. “Dulu kami menggunakan satelit Bhakti, sekarang kami menggunakan satelit berbayar,” kata Hero kepada Business.
Target pasar Bhakti kemungkinan akan berubah dengan adanya Star Link, kata Herro. Hero mengatakan, terdapat perbedaan signifikan antara satelit Starlink dan Bakti dalam hal kapasitas dan kecepatan. Namun untuk ketangguhannya, satelit HTS terbukti. Sedangkan satelit Starlink masih belum diuji.
“Starlink umurnya sekitar 5 tahun, nanti satelitnya akan diganti lagi. Proses penggantian satelitnya belum selesai, bisa tidak [puluhan ribu satelit sudah diganti] masa uji coba Starlink.” Periode penggantian “Satelit membutuhkan investasi besar.”
Sementara itu, Kanka Hedayat, pakar dan konsultan satelit, mengatakan program satelit Satria-1 masih berjalan dan rasional karena kendali dan pengawasan BAKTI 100%.
Selain itu, karena BAKTI menjalankan program secara massal, pembiayaan masih sangat kompetitif dibandingkan Starlink, kata Kanaka.
Sementara itu, Bakhti tidak menjawab pertanyaan bisnis mengenai masa depan proyek Satria-2. Belum jelas apakah proyek senilai $13 triliun ini akan dilanjutkan atau dibatalkan.
Simak Google News dan berita serta artikel lainnya di WA Channel