Bisnis.com, Jakarta – Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menegaskan belum ada proses yang jelas dan transparan dalam penerbitan sertifikasi Uji Laik Operasi (ULO) Starlink. Pemerintah disinyalir menawarkan keistimewaan khusus atau “karpet merah” kepada satelit Elon Musk.

Ketua APJII Mohammad Aref menilai Starlink menerima sertifikasi ULO tanpa proses yang jelas. Dia mengatakan keputusan pemerintah untuk memberikan lisensi kepada Starlink tanpa melibatkan atau berkonsultasi dengan pemangku kepentingan lokal menimbulkan pertanyaan besar.

“Proses sertifikasi jalur cepat Starlink semakin menimbulkan tuduhan bahwa ISP lokal mungkin tidak memberikan perlakuan khusus.

Aref mengatakan proses otorisasi Starlink kurang transparan dan adil, sehingga merugikan penyedia layanan jaringan lokal karena mereka kesulitan memenuhi standar peraturan.

“Hal ini menimbulkan kekhawatiran APJII bahwa pemerintah melakukan diskriminasi dan mengabaikan peran dan kontribusi ISP lokal yang selama ini memenuhi standar regulasi yang ketat,” ujarnya.

Selain itu, APJII juga menegaskan ditemukannya peralatan Starlink yang diduga masuk ke pasar melalui jalur ilegal. Aref menduga peralatan tersebut didatangkan dari pasar gelap tanpa melalui standar prosedur Direktorat Jenderal SDPPI Kominfo (Komparin) Kementerian Perindustrian, melanggar peraturan Kementerian Perdagangan (Komendag) tentang ilegal barang impor.

Kehadiran perangkat-perangkat tersebut tanpa prosedur standardisasi yang tepat oleh otoritas terkait menimbulkan pertanyaan mengenai keamanan dan legalitasnya serta berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem layanan internet di Indonesia, ujarnya.

APJII juga menyoroti kehadiran Starlink yang izinnya melayani pelanggan ritel dapat mengakibatkan pengembalian RT/RW Net secara ilegal di Indonesia. “Selain itu, penyedia layanan Internet yang tidak diatur dapat memperburuk situasi saat ini,” tambahnya.

Aref juga mengingatkan kehadiran Starlink di Indonesia dapat menimbulkan ancaman bagi penyedia layanan seluler lokal, serta risiko dominasi asing di pedesaan.

Kehadiran ISP asing seperti Starlink akan mengurangi keragaman layanan dan meningkatkan ketergantungan terhadap penyedia asing, sehingga berpotensi mengganggu stabilitas dan kemandirian industri ISP lokal Indonesia, ujarnya.

Aref mengatakan ancaman lainnya adalah dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh Starlink, seperti peningkatan perjudian online, prostitusi, perdagangan manusia, siaran langsung ilegal, dan penipuan.

Selain itu, Starlink yang mendominasi di Indonesia juga akan meningkatkan biaya operasional ISP lokal, penyedia pusat data Indonesia, penyedia telekomunikasi seluler, dan penyedia akses jaringan (NAP) untuk menutupi biaya koneksi.

Selain itu, tambah Arif, ada juga risiko Indonesia kehilangan kendali dan pengelolaan jaringan nasional. Sebab, pemasok asing mungkin tidak sepenuhnya mematuhi kebijakan lokal, tutupnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel