Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom memperkirakan aktivitas manufaktur akan terus terkontraksi jika kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) hingga 12% serius diterapkan pada tahun depan. 

Lebih lanjut, penurunan tersebut tercermin pada Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia yang dalam empat bulan terakhir selalu berada di bawah ambang batas indeks sebesar 50. 

CEO Inti Mohammad Faisal mengatakan kenaikan PPN akan meningkatkan biaya produksi sehingga menurunkan tingkat keuntungan dan mendorong kontraksi produksi dalam jangka waktu lebih lama. 

Artinya, kemungkinan besar akan memberikan tekanan lebih besar pada sektor manufaktur, karena kondisi saat ini PMI manufaktur sudah turun dalam empat bulan terakhir, kata Faisal kepada Bisnis. ) . 2024). 

Dampak yang tidak kalah pentingnya terhadap kinerja industri adalah melemahnya permintaan akibat berkurangnya daya beli konsumen. Kebijakan PPN 12% mampu menurunkan konsumsi masyarakat. 

Permintaan pasar tidak hanya akan mendorong pesanan baru ke pabrik, persediaan di gudang yang tidak terserap pasar juga akan menambah beban industri. 

Artinya, dari sisi pelaku industri, tekanan datang dari dua sisi, yaitu kenaikan biaya produksi dan juga penurunan permintaan yang berarti harus membeli produk. Jadi produk-produk industri juga akan turun terutama dari kelas menengah, ujarnya. 

Oleh karena itu, Faisal menyarankan Pemerintah mempertimbangkan kembali penerapan PPN 12%. Selain itu, kenaikan PPN baru akan diterapkan pada tahun 2022. 

“Sedangkan dampak pandemi masih terjadi, masih ada. Oleh karena itu, yang terbaik adalah menunda kenaikan PPN 12%,” ujarnya. 

Ia juga meminta pemerintah meningkatkan insentif positif pada sektor-sektor, terutama sektor-sektor yang paling rentan saat ini, seperti sektor padat karya. 

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel