Bisnis.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak menyebut penurunan harga barang pada tahun lalu menjadi salah satu penyebab utama pajak tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi pada 2024.

Ketidakseimbangan antara pajak dan pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari indikator pertumbuhan pajak yang dikenal dengan tarif pajak. 

Dengan demikian, nilai tarif pajaknya adalah 1. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi menghasilkan tarif pajak sebesar 1%.

Tarif pajak sendiri diketahui dengan menghitung besarnya penerimaan pajak dibagi perubahan produk domestik bruto (PDB).

Berdasarkan dokumen Kementerian Keuangan (Kemenkou), penerimaan pajak dihasilkan sebesar 2,38% (y-o-y/YoY) pada kuartal III-2024. Sedangkan berdasarkan dokumen Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi mencapai 5,03% pada triwulan III/2024 atau Januari-September 2024.

Artinya tarif pajak Indonesia sebesar -0,47% dari triwulan III/2024. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi atau PDB tidak ada hubungannya dengan tarif pajak.

Menanggapi hal tersebut, Dwi Astuti, Kepala Bidang Saran, Pelayanan, dan Hubungan Direktorat Jenderal Pajak menjelaskan, pertumbuhan ekonomi merupakan cerminan dari apa yang terjadi tahun ini. Sementara itu, lanjutnya, penerimaan pajak dipengaruhi oleh peristiwa perekonomian dalam satu tahun terakhir.

Artinya pajak tidak akan meningkat pada tahun yang sama seiring dengan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2024, kata Dwi Astuti kepada Bisnis, Kamis (14/11/2024).

Selain itu, ia menyebutkan kinerja fiskal pada tahun 2024 juga dipengaruhi oleh penurunan harga komoditas pada tahun 2023. Penurunan harga berdampak pada keuntungan perusahaan yang bersangkutan.

“Hal ini akan berdampak pada penurunan pembayaran pajak penghasilan badan tahunan dan pengurangan pajak penghasilan badan berkala pada tahun 2024,” tambah Dwi.

Lebih lanjut dikatakannya, Ditjen Pajak sedang merencanakan kajian situasi perpajakan pada tahun 2024, sehingga belum ada nilai riilnya.

Sementara itu, Ketua Dewan Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Priyanto Budi Saptono menilai kenaikan pajak sebesar -0,47 dari September tidak konsisten dengan semester pertama tahun ini. Pada saat itu, ini merupakan pengembalian pajak perusahaan yang sangat besar.

Selanjutnya, karena PPH perusahaan pada tahun 2024 diperkirakan akan kurang dari 75% dari PPH perusahaan pada tahun 2023, maka penurunan PPH sebesar 25 (per bulan) diminta oleh wajib pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). ,

Lebih lanjut dikatakannya, hal ini terlihat dari pertumbuhan pajak badan pada bulan Januari hingga Oktober yang menurun sebesar 26,3% dan total kontribusi pajak badan menjadi 17,3%. 

Dari sisi industri pembayar pajak, kontribusi sektor pertambangan masih rendah, hanya 6% karena pertumbuhan -41,4%. Menurut Priyanto, masuknya penerimaan pajak ke sektor pertambangan terkait dengan harga produk tambang yang belum diketahui.

Penyebabnya antara lain situasi politik akibat perang dan agresi militer, ujarnya kepada Bisnis, Rabu (13/11/2024).

Senada dengan itu, Fajri Akbar, Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), mengatakan sistem perpajakan yang masih berlaku menjadi penyebab beban pajak.

“Untuk PPN misalnya, pertumbuhan ekonomi hanya meningkat pada bulan lalu. Kenaikan jumlah restitusi di awal tahun juga berdampak,” jelas Fajri kepada Bisnis, Rabu (13/11/2024).

Namun, ia menilai ada beberapa kelemahan dalam kode perpajakan. Pasalnya, mereka yang menerima PPh Badan atau PPh Badan tahun ini menunjukkan kinerjanya 1-2 tahun lalu.

Lebih lanjut Fazri mengatakan, artinya apa yang dibaca tidak benar. Selain itu, pajak perusahaan merupakan salah satu komponen pajak terbesar dalam struktur perpajakan.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel