Bisnis.com, JAKARTA – Filsafat, khususnya cabang yang mengkaji epistemologi (ilmu pengetahuan), merupakan tempat berakarnya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dalam konteks filsafat terus mengalami kemajuan yang berdampak pada kesejahteraan manusia.

Epistemologi mempelajari hakikat, asal usul dan batasan pengetahuan manusia. Dalam kaitan ini, ada dua aliran pemikiran utama dalam cara memperoleh pengetahuan, yaitu empirisme dan logika.

Empirisme yang didukung oleh intelektual Inggris seperti John Locke menegaskan bahwa pengetahuan hanya berasal dari pengalaman indrawi.

Locke mengatakan bahwa pikiran manusia saat lahir adalah tabula rasa, atau papan tulis kosong, yang secara bertahap diisi dengan informasi melalui pengalaman. Sebaliknya, kaum rasionalis seperti René Descartes dan Immanuel Kant berpendapat bahwa manusia dilahirkan dengan naluri yang membantu mereka memahami dan menafsirkan dunia.

Menurut kaum rasionalis, konsep dan prinsip kelahiran ini penting untuk memahami pengalaman dan pengembangan pengetahuan ilmiah.

Metode ilmiah, seperti yang kita kenal sekarang, dikembangkan dengan kontribusi banyak filsuf dan ilmuwan yang menjembatani kesenjangan antara filsafat dan penelitian empiris.

Metode ini melibatkan perumusan hipotesis (logika apriori) berdasarkan observasi dan kemudian menguji hipotesis tersebut dengan eksperimen (verifikasi post hoc) untuk menentukan validitasnya.

Proses merumuskan dan menguji gagasan ini merupakan dasar dari semua cabang ilmu pengetahuan modern seperti fisika, kimia, dan biologi.  Berbagai cabang ilmu pengetahuan secara bertahap muncul dari filsafat alam pada waktu yang berbeda dalam sejarah

Transisi dari filsafat alam ke sains modern tidak hanya merupakan perubahan terminologi, namun juga perubahan besar dalam cara mengejar dan memverifikasi pengetahuan.

Pergeseran ini berfokus pada pengamatan, pengujian, dan penggunaan bukti empiris untuk mendukung atau menolak hipotesis. Seiring berjalannya waktu, setiap disiplin ilmu menyempurnakan metodenya dan memperluas cakupannya, sehingga berkontribusi pada bidang ilmu pengetahuan yang luas dan beragam yang kita kenal sekarang.

Setelah Perang Dunia Pertama, sekelompok sarjana yang disebut Lingkaran Wina mengembangkan gagasan baru yang disebut positivisme logis.

Pada awal abad ke-20, mereka berpendapat bahwa satu-satunya informasi yang valid adalah informasi yang dapat dipelajari dari sains. Terlebih lagi, logika dan matematika seharusnya mampu menjelaskan sebagian besar, jika tidak seluruh, pengetahuan kita.

Filsafat, menurut mereka, bertugas memberikan penjelasan yang jelas dan hukum-hukum yang logis untuk memahami mengapa sains merupakan sumber pengetahuan yang paling penting.

Karl Popper, seorang positivis logis, memperkenalkan metode menjelaskan sains berdasarkan prinsip falsifikasi.

Menurut Popper, suatu teori ilmiah harus dibuktikan salah agar dapat dianggap sebagai sains. Jika suatu teori selalu benar dan tidak pernah bisa dibuktikan salah, maka itu hanyalah keyakinan atau pseudosains.

Meski banyak yang setuju dengan pandangan Popper, tantangan datang dari Kurt Gödel, seorang matematikawan Austria, yang mengatakan bahwa dalam sistem aksiomatik, semua hukum penghitungan tidak dapat dengan mudah diverifikasi dari konsep sistem ini.

Thomas Kuhn menambahkan dalam karyanya yang berjudul “Structure of Science” bahwa sains tidak seobjektif pemikiran Popper.

Kuhn memperkenalkan gagasan “pergeseran paradigma”, di mana perubahan besar dalam teori ilmiah terjadi setelah beberapa percobaan gagal dan ada kebutuhan untuk merevisi teori tradisional.

Temukan berita dan artikel lainnya di Google Berita dan WA Channel