Bisnis.com, JAKARTA – Para ekonom menyebut ada beberapa strategi yang bisa dilakukan untuk mengatasi potensi defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) RI, seperti diberitakan sebelumnya, BPJS Kesehatan diperkirakan mengalami defisit sebesar Rp 20 triliun pada tahun ini. serta anggaran belanja sebesar 176 triliun rupiah.

Wijayanto Samirin, Ekonom Universitas Paramadina, mengatakan BPJS mencatat surplus pada awal berdirinya. Pasalnya, jumlah peserta penerima Bantuan Penanaman Modal (PBI) dari pemerintah meningkat akibat ketidaktahuan akan hak bebas akses terhadap kesehatan dan terbatasnya fasilitas kesehatan Namun, situasi berubah drastis setelah epidemi Covid-19. Sebagian besar peserta PBI kini lebih sadar akan hak-haknya dan akses terhadap fasilitas kesehatan menjadi lebih mudah.

“Apa yang terjadi adalah perubahan dramatis dari underuse, menyalahkan, overuse, menjadi moral hazard yang akhirnya tumbuh dan menimbulkan defisit,” kata Vijayanto, yang juga menjabat sebagai Wakil Presiden Khusus Mabes. ) Bidang Perekonomian 2014-2019 yang juga membawahi BPJS Kesehatan Dunia Usaha, pada Selasa (12/11/2024). 

Untuk mengatasi tantangan tersebut, Wijayanto mengatakan BPJS Kesehatan terus melakukan berbagai inovasi dan perbaikan. Wijayanto mencatat, perbaikan sistem teknologi untuk mencegah manipulasi data, penerapan tiga tingkat layanan yang lebih baik, dan peningkatan efisiensi di lapangan sudah mulai menunjukkan hasil. 

Namun, kata dia, masih diperlukan strategi yang lebih komprehensif untuk mempertahankan BPJS Kesehatan dalam memenuhi tuntutan layanan kesehatan dan meringankan beban BPJS Kesehatan.

Kedua, menyelaraskan indikator kinerja BPJS Kesehatan sejak awal dengan menyasar lebih banyak peserta sehingga lebih sedikit peserta yang membutuhkan layanan kesehatan dengan tetap menjaga kualitas layanan. Ketiga, penyesuaian kebijakan cakupan layanan. 

“Secara bertahap kami melakukan penyesuaian kebijakan mengenai jenis penyakit yang ditanggung, tidak semua penyakit yang dapat dicegah dapat ditanggung sepenuhnya oleh BPJS Kesehatan,” kata Vijayanto. 

Keempat, membuat perkiraan jangka panjang. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan prediktabilitas jangka panjang atas pengeluaran dan penerimaan dana dari sumbangan swasta, individu, dan publik, untuk mengantisipasi kemungkinan defisit.

“Terakhir, pertimbangkan untuk mengembangkan aplikasi pembagian biaya pasien untuk mengurangi bahaya moral,” katanya. 

Sebelumnya, BPJS Kesehatan melaporkan rasio kerugian aktuarial semakin meningkat. Keadaan ini menandakan klaim atau biaya manfaat yang dibayarkan badan publik lebih besar dibandingkan pendapatan premi yang diterima BPJS rasio kerugian aktuarial mencapai di atas 100%. 

“Tahun 2023 ada death cross, artinya mulai tahun 2023 antara biaya [penerimaan] dan premi [investasi] biayanya lebih tinggi. Jadi rasio kerugian aktuaria lebih tinggi 100%. buku tabel sakit bagi masyarakat Indonesia yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. (Bappenas) di Jakarta, Senin (11/11/2024). 

Situasi tersebut, menurut Mahlil, dapat mengancam keberlangsungan Dana Jaminan Sosial (DJS) BPJS Kesehatan. Dengan ketidakamanan tersebut, ada kemungkinan defisit karena biaya operasional lebih besar dibandingkan pendapatan

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel