Bisnis.com, TANGERANG – PT Pertamina Hulu Energi (PHE) telah menandatangani perjanjian dengan ExxonMobil terkait perancangan model bisnis pengembangan CCS/CCUS center di wilayah kerja lepas pantai PT Pertamina Hulu Energi. Sumatera Tenggara (PHE OSES). 

Wakil Presiden Senior Pengembangan Bisnis ExxonMobil Indonesia Egon van der Hoeven menandatangani Konvensi dan Pameran Indonesia Petroleum Association (IPA CONVEX) ke-48 di Indonesia Petroleum Exhibition (ICE CONVEX). ), BSD City, Rabu (15/5/2025). 

Perjanjian tersebut merupakan kelanjutan dari Head of Agreement (HoA) tahun 2022 antara ExxonMobil-Pertamina-PHE. Usulan potensi penyimpanan karbon domestik dan internasional akan direalisasikan oleh CCS Hub Proyek Cekungan Asri yang berlokasi di wilayah kerja PHE OSES. 

“Sebagai bagian dari survei tersebut, PHE dan ExxonMobil akan melakukan appraisal pengeboran untuk mengumpulkan data,” kata Awang dalam konferensi pers, Rabu (15/15). 5/2024). 

CEO PT Pertamina (Persero) Niki Vidyawati, Presiden ExxonMobil Low Carbon Solutions Asia Pasifik Irtiza Syed, dan Presiden ExxonMobil Indonesia Carol Gal turut hadir.

Evaluasi pra kontrak ini meliputi kegiatan pendahuluan sebelum sumur dibor. Sebelumnya, studi bersama antara Pertamina dan ExxonMobil mengidentifikasi potensi kapasitas penyimpanan karbon dioksida (CO2) hingga 3 gigaton di ladang minyak dan gas Pertamina, dengan nilai investasi sebesar $2 miliar. 

Kapasitas penyimpanan CO2 yang besar ini akan menjaga emisi CO2 di Indonesia tetap konstan selama 16 tahun ke depan.

Pengembangan Asri Basin CCS Hub bersama ExxonMobil berpotensi menangkap CO2 dan menjadi peluang bisnis baru dalam program dekarbonisasi Asia Tenggara.

Dengan pertimbangan tersebut, Pertamina dan ExxonMobil memperkuat kemitraan pengembangan CCS Hub Asri Basin sebagai bagian dari upaya penurunan emisi karbon sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi melalui investasi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan nasional.

“Teknologi CCS/CCUS adalah tren baru dalam transisi energi untuk mencapai tujuan emisi nol bersih (NZE) global. Dalam semangat berbagi untuk menjawab tantangan saat ini, penerapan CCS/CCUS di Indonesia tengah dipertimbangkan. Seiring dengan pengurangan rumah kaca. emisi gas. Hal ini dapat mendukung peningkatan produksi minyak dan gas alam.

Diberitakan sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah melaksanakan Keputusan Presiden Nomor 1424 Tahun 2024 (Perpress) tentang Koordinasi Turunan Terkait Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon.  

Hasil tingkat menteri untuk standarisasi pengembangan fasilitas penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) akan diselesaikan dalam waktu tiga bulan ke depan.  

Noor Arifin Mohamed, direktur konstruksi dan lingkungan hidup di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengatakan kementerian telah mempercepat pengembangan peraturan dan melaksanakan pengembangan penyimpanan karbon di negara tersebut.  

“Proyeknya sedang dipersiapkan dan Menteri ESDM [Arifin Tasrif] memperkirakan bisa selesai dalam dua hingga tiga bulan ke depan,” kata Noor. / 5/2024).

Noor mengatakan, aturan yang berasal dari Perpres tersebut antara lain pengaturan kemampuan penyimpanan karbon, tata cara penyiapan izin karbon, lelang, dan izin eksplorasi. 

“Dari turunan ini kami berharap CCS bisa diterapkan karena aturannya belum ada,” ujarnya.  

Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, biaya pengembangan CCS terutama dipengaruhi oleh aktivitas penangkapan karbon dioksida (CO2), yang menyumbang sekitar 73% dari total biaya.   

Menurut studi yang dilakukan oleh ASEAN dan East Asian Economic Research Institute, biaya penyerapan karbon adalah $45,92 per ton dan penyimpanannya adalah $15,93 per ton.  

Sementara itu, menurut studi Boston Consulting Group (BCG), pasar CCS diperkirakan akan mencapai $134 miliar pada tahun 2030 dari aktivitas penyimpanan, transportasi, dan penangkapan karbon.   

Selain itu, nilai komersial CCS akan tumbuh menjadi $440 miliar pada tahun 2040, atau meningkat 26% dari level $4 miliar pada tahun 2020.  

Berdasarkan identifikasi 20 cekungan produksi oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, kapasitas penyimpanan karbon internal akuifer garam adalah 572,77 gigaton CO2 (karbon dioksida), jauh di atas perkiraan tahun 2015 sebesar 9,7 gigaton CO2.   

Sementara itu, perkiraan terbaru menyebutkan potensi penyimpanan ladang minyak dan gas alam sebesar 4,85 gigaton CO2, naik dari perkiraan tahun 2015 sebesar 2,5 gigaton CO2.   

Studi lain yang dilakukan ExxonMobil memperkirakan kemungkinan potensi penyimpanan sekitar 80 gigaton CO2 di air asin, sementara Rystad Energy Research memperkirakan lebih dari 400 gigaton CO2 di cadangan minyak dan gas serta air asin Indonesia.    

Saat ini terdapat 128 cekungan migas yang berpotensi dikembangkan. Sementara itu, terdapat 27 cekungan yang dalam tahap penemuan, dan sebagian lainnya masih menjanjikan yakni belum tereksplorasi.    

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel