Bisnis.com, JAKARTA – Keputusan Presiden Prabo Subianto bergabungnya Indonesia dalam BRICS di tengah upaya bergabung dengan Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dinilai positif oleh para pengamat dan kalangan bisnis.

Sebagai informasi, Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah menyatakan minatnya untuk bergabung dengan kelompok Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan atau BRICS. Sementara itu, Indonesia juga bercita-cita untuk bergabung dengan OECD, sebuah proses yang dimulai pada masa pemerintahan presiden ketujuh Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi).

Presiden Umum Apindu Shinta Wu. Kamdani menilai pemerintah Indonesia memiliki kecenderungan dan pertimbangan dari segi geopolitik untuk berpartisipasi melalui kedua organisasi global tersebut. Keputusan Presiden Prabo, kata dia, merupakan langkah baik bagi Indonesia. 

“Mungkin kita perlu lihat manfaat pastinya apa, tapi yang pasti supaya seimbang, mungkin dari OECD kita lihat trennya apa, lalu BRICSnya apa. Ini yang menurut saya perlu dilakukan. dianalisis lebih lanjut,” kata Shinta, Rabu (30/10/2024). 

Shinta menjelaskan, keanggotaan Indonesia di OECD dan BRICS cenderung mencakup partisipasi dalam standar yang ditetapkan oleh organisasi tersebut. Sedangkan menurutnya, tidak ada dampak langsung terhadap akses pasar, perdagangan, maupun investasi. 

Artinya tidak ada keterkaitan langsung dengan akses pasar dan sebagainya. Ini hanya kelompok yang kemudian berusaha bersatu, saya melihat salah satu aspek yang didorong adalah dari segi keuangan, dari segi pertukaran [mata uang] dan segala macamnya,” katanya 

Sementara itu, Ekonom Senior Universitas Permadina Wayanto Samirin menilai upaya Indonesia bergabung dengan BRICS dan OECD merupakan pilihan terbaik sesuai potensi positif yang bisa didapat dari kerja sama kedua kelompok tersebut.

Viayanto juga mengatakan, tidak ada larangan resmi suatu negara tidak bisa bergabung dengan BRICS dan OECD. Menurut dia, cara serupa juga dilakukan negara lain seperti Brazil, Thailand dan lainnya.

“Itu (bergabung dengan BRICS dan OECD) dimungkinkan, karena tidak ada larangan resmi. Pendekatan Thailand begini, Turki sudah menjadi anggota OECD, tapi saat ini beralih (ke BRICS), Brazil sebagai inisiatornya. BRICS yang menerapkannya. Juga soal OECD,” jelas Viggianto dalam diskusi online ‘BRICS vs OECD: Indonesia mana yang harus dipilih?’ pada Rabu (30/10/2014).

Manfaat bergabung dengan BRICS dan OECD

Wayanto menjelaskan, salah satu keuntungan Indonesia bergabung dengan BRICS adalah meningkatnya kerja sama antar negara berkembang atau Global South. Menurutnya, kerja sama global Selatan belum dikembangkan secara optimal oleh OECD. Padahal, Viayanto menyebut dari sisi ekonomi potensi kerja sama ini sangat besar.

Selain itu, aksesi Indonesia pada BRICS berguna dalam mendorong multilateralisme yang lebih adil. Berbeda dengan OECD yang beranggotakan 38 negara dan memiliki beberapa partai yang lebih dominan sehingga berpotensi memperkecil peran Indonesia jika bergabung dalam kelompok tersebut.

Selain itu, manfaat keanggotaan Indonesia dalam BRICS diyakini akan mendorong penggunaan mata uang lokal dalam transaksi ekspor dan impor. BRICS juga bertanggung jawab atas sebagian besar produk domestik bruto (PDB) global dan pertumbuhan populasi. 

“Jadi proses menjadi anggota BRICS relatif sederhana, berbeda dengan OECD yang memakan waktu bertahun-tahun,” lanjutnya.

Sedangkan salah satu keuntungan keanggotaan Indonesia di OECD adalah adanya potensi transfer teknologi. Hal ini sekaligus mempertimbangkan posisi OECD sebagai organisasi yang beranggotakan negara-negara maju. Transfer teknologi ini dapat dimanfaatkan Indonesia dalam upaya membangun dan membangun negara.

Viayanto menambahkan, OECD juga memiliki keunggulan dari segi jumlah anggotanya yang mencapai 38 negara. Melalui organisasi ini, Indonesia juga dapat mempromosikan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan tata kelola pemerintahan yang baik dengan lebih baik.

Selain itu, Indonesia juga dapat mempercepat dan menyederhanakan proses penyelesaian perjanjian kerja sama dengan Uni Eropa atau Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Pasalnya, hingga saat ini proses negosiasi kerja sama tersebut telah berlangsung selama 10 tahun.

Jangan main-main dengan anggota OECD

Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan keputusan bergabung dengan BRICS tidak akan mengganggu langkah Indonesia yang sejak tahun lalu mulai bergabung menjadi anggota OECD. 

“Tidak, jadi kita negara nonblok dan itu dipahami seluruh anggota OECD,” ujarnya kepada media di JCC, Rabu (30/10/2024). 

Bersama dengan BRICS, hal ini dapat memberi Indonesia akses terhadap pendanaan alternatif dan kerja sama Selatan-Selatan yang lebih adil.

Sementara itu, keterlibatan aktif Indonesia dengan OECD – yang beranggotakan 38 negara, termasuk Australia, Amerika Serikat, dan Inggris – dapat mendorong reformasi dan meningkatkan daya saing Indonesia di kancah dunia.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel