Bisnis.com, JAKARTA – Kehadiran warung Madura semakin meluas di tengah menurunnya daya beli masyarakat kelas menengah. Kondisi ini semakin meningkatkan persaingan antara kios kecil dan ritel modern. 

Berdasarkan studi terbaru Investure terhadap 450 responden kelas menengah dan Gen Z, 49% kelas menengah mengalami penurunan daya beli. Ada tiga faktor utama: kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok, tingginya biaya pendidikan dan layanan kesehatan, serta pendapatan yang stagnan.

Ketua Asosiasi Pedagang Besar Makanan Madura Abdul Hameed mengatakan pedagang warung dan pedagang grosir kini berupaya mencari agen pemasok termurah agar harga yang ditawarkan kepada konsumen lebih terjangkau. Hal ini dilakukan untuk menjaga keuntungan tetap rendah. 

“Kalau di Warung saya, seharinya mungkin sekitar 4-5 juta rupiah [profit], retail ini margin keuntungannya rendah sekali,” kata Hamid dalam agenda Konferensi Industri Indonesia 2025, Rabu (Oktober). 23 Agustus 2024): “Kami memiliki margin 10% karena kami menjual sangat rendah.” 

Beberapa kios juga mengadopsi strategi baru, beralih dari ritel ke grosir. Pasalnya, omzet transaksi di toko kelontong bisa lebih tinggi yakni Rp 30 juta hingga 50 juta. Namun, toko kelontong tidak dapat menjangkau konsumen individu yang sering menelusuri produk retail. 

Di sisi lain, ia menemukan menurunnya daya beli masyarakat kelas menengah tidak berarti persaingan dengan ritel modern semakin ketat. Bahkan, para retailer masa kini bisa bermitra dengan booth Madura yang menjual barang-barang diskon dengan harga murah. 

“Bisa juga jadi mitra, mereka [toko retail modern] suka melakukan promosi, diskon, kami juga ambil barang dari kios,” ujarnya. 

Namun tidak dapat dipungkiri, riset Inventure menunjukkan 4 dari 5 masyarakat kelas menengah memilih Warung Madura karena lokasinya yang strategis, harga dan jam bukanya (24 jam). 

Paket ritel ini juga menyasar kelas menengah, dengan kebutuhan pokok seperti minuman kemasan, kebutuhan pokok, makanan ringan, dan produk mandi paling banyak dibeli di warung Madura. 

Dalam kesempatan tersebut, Managing Partner Trade Marketing Indonesia FM Siddharta menyampaikan bahwa ada lagi pemisahan antara toko ritel modern dan Madura.

Artinya menjamurnya kios di Madurai bukanlah faktor utama yang berkontribusi terhadap tumbuhnya persaingan ritel. Selain itu, ia meyakini adanya perubahan pola konsumsi masyarakat yang membuat kemasan ritel semakin digemari. 

“Peningkatan pembelian paket sebenarnya mencerminkan penurunan daya beli,” jelasnya, “Tetapi hal ini mungkin juga mencerminkan perubahan dalam cara kita mengonsumsi.” 

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel