Bisnis.com, Jakarta – Presiden terpilih Prabowo Subianto menyarankan untuk tidak mengutamakan subbagian yang fokus pada bagian bawah, tetapi juga pada subbagian yang sudah mapan seperti pakaian dan dress-to-wear.

Yusuf Randy Manilet, Ekonom Pusat Reformasi Ekonomi, menjelaskan indikator sandang dan sektor sandang mengalami tren penurunan sejak tahun 2015. Menurut dia, tren negatif tersebut mencerminkan minimnya investasi di bidang sandang dan pakaian jadi. Mengurangi kinerja.

Di sisi lain, lanjut Yusuf, sektor industri logam dasar mengalami pertumbuhan signifikan dari 6% pada tahun 2015 menjadi 14% pada tahun 2023, didorong oleh kebijakan bottom line pemerintah. Namun kontribusi sektor ini terhadap total produksi masih kecil sehingga belum mampu menopang laju modernisasi yang prematur.

Oleh karena itu, pemerintah ke depan harus fokus tidak hanya pada industri baru seperti di bawah ini, tetapi juga fokus pada industri yang memiliki keterlibatan tinggi seperti sandang, pakaian jadi, makanan minuman, dan otomotif, kata Yusuf kepada Bisnis, Kamis (17). /10/2024).

Ia mendesak kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Prabowo ke depan harus mencakup semua subkategori, baik baru maupun lama. Yusuf mencontohkan pemerintahan Prabowo yang perlu memberikan subsidi listrik, membuka pasar domestik, dan mengekspor ke perusahaan-perusahaan kecil.

Selain itu, diakui data Kementerian Investasi/Badan Pengelola Keuangan (BKPM) menunjukkan data jaminan investasi pada sektor manufaktur (perguruan tinggi) lebih banyak dibandingkan sektor infrastruktur (perguruan tinggi) dan pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan. sektor (primer) selama 10 tahun terakhir.

Padahal, rata-rata pertumbuhan sektor manufaktur selama 10 tahun terakhir atau pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mencapai 15,5%. Namun, tingkat investasi di industri manufaktur tidak sebanding dengan kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi sehingga justru menurun yang merupakan salah satu indikator pemulihan dini.

Yusuf menjelaskan, kejadian ini terjadi karena BKPM secara umum mencatat apresiasi investasi pada perusahaan baru. Sementara efisiensi industri manufaktur tidak hanya berasal dari perusahaan baru, namun juga dari ekspansi perusahaan yang sudah ada.

“Meskipun terdapat tren peningkatan investasi, skala industri manufaktur belum berkembang secara signifikan. Industri mapan seperti pakaian dan tekstil, yang merupakan kontributor penting, berisiko tidak dapat beroperasi dan tidak berkembang karena tekanan persaingan. “- jelasnya. Produksi melambat

Sebagai informasi, data terbaru yang dirilis Bank Indonesia (BI) juga menunjukkan adanya penurunan aktivitas sektor manufaktur. PMI manufaktur atau indeks aktivitas manufaktur BI triwulan III 2024 sebesar 51,54%.

Meski berada pada wilayah ekspansif, namun terlihat menurun dibandingkan BI PMI periode sebelumnya secara triwulanan dan tahunan.

Untuk triwulan II tahun 2024 misalnya, PMI BI sebesar 51,97%. Sedangkan pada Q3 2023, PMI BI sebesar 52,93%.

Penurunan tersebut sejalan dengan pertumbuhan kegiatan usaha manufaktur berdasarkan Survei Kegiatan Dunia Usaha BI yang terpantau melambat pada triwulan tersebut: nilai buku rata-rata tertimbang pada triwulan III 2024 sebesar 1,38%, turun dari 1,65%. pada kuartal kedua tahun 2024.

Bahkan, BI memperkirakan produktivitas akan kembali melambat pada triwulan IV 2024 yakni sebesar 51,13%. Meskipun masih luas, angka tersebut turun dari 51,54% pada Q3 tahun 2024.

Perkiraan PMI BI triwulan IV tahun 2024 sejalan dengan temuan Survei Kegiatan Dunia Usaha Global yaitu rata-rata tertimbang nilai buku kegiatan usaha triwulan IV tahun 2024 diperkirakan sebesar 0,80% atau turun 1,38%. Kuartal ketiga tahun 2024.

Sebagai informasi, setidaknya ada lima indikator yang membentuk PMI BI, yaitu volume produksi, total volume pesanan produk cetakan, volume persediaan produk jadi, penggunaan tenaga usaha, dan kecepatan pengumpulan produk pesanan.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel