Bisnis.com, Jakarta – Jumlah penawaran umum perdana (IPO) di pasar modal Indonesia hingga kuartal III 2024 tercatat mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Para analis memperkirakan aktivitas IPO akan tetap berada di bawah tekanan setidaknya hingga awal tahun depan, setelah Prabowo-Gibran mengambil alih jabatan ketua dan wakil ketua.

Maximilianus Nico Demus, Wakil Direktur Investasi dan Riset Pilarmas Investindo Securitas, menjelaskan pihaknya sedang mempertimbangkan untuk menunda IPO untuk saat ini, setidaknya hingga awal tahun depan.

“Tentu ada transisi pemerintahan yang tentunya akan berujung pada perubahan regulasi,” kata Nico, Senin (14/10/2024).

Menurut dia, pencatatan akan dilanjutkan bagi perusahaan yang sudah mencatatkan sahamnya untuk dicatatkan. Namun, tambahnya, pelaku usaha yang belum mendaftar cenderung menunggu.

Selain itu, lanjut Niko, salah satu tugas tersulit pasar saham dalam hal IPO, menurut Niko, adalah mengembalikan kepercayaan calon emiten, pelaku pasar, dan investor agar bisa kembali masuk ke pasar modal.

Ia menambahkan, tantangan lain dalam IPO adalah otoritas terkait harus memastikan bahwa emiten tersebut secara fundamental layak dan memiliki potensi valuasi di masa depan.

“Kualitas lebih berharga daripada kuantitas,” kata Nico.

Niko mengatakan ke depan, IPO di bidang energi terbarukan masih sangat dinantikan. Selain itu, tambahnya, sektor-sektor yang sejalan dengan rencana bisnis pemerintah, seperti properti khusus dan emiten yang terkait dengan program makan siang bergizi, juga menanti investor.

Firma audit Ernst & Young (EY) sebelumnya mengabarkan pasar IPO Indonesia akan melambat pada kuartal III 2024.

EY mengatakan, tingkat IPO jauh lebih rendah, yakni sebanyak 34 IPO pada kuartal III 2024, dibandingkan 66 pada periode yang sama tahun lalu. Pada kuartal III 2024, total pendanaan berkurang menjadi US$300 juta dari sebelumnya US$3,3 miliar.

Selain itu, EY mencatat pendapatan IPO Indonesia pada kuartal III 2024 juga lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia sebesar $1,4 miliar dan Thailand sebesar $0,6 miliar.

__________

Penafian: Buletin ini tidak dimaksudkan untuk mendorong Anda membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab atas segala kerugian atau keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA