Bisnis.com, Jakarta – Pengamat menilai masa berlaku izin pertambangan harus tetap berlaku agar tambang tetap rapi dan mengikuti praktik penambangan yang baik (GMP).

Fardi Hosseman, Peneliti Alpha Research Database, mengatakan penghapusan batas waktu izin pertambangan hanya akan menguntungkan segmen usaha pelaku pertambangan. Sebaliknya, justru merugikan negara.

Komentar Fardi ini menanggapi pernyataan Asosiasi Pertambangan Indonesia (IMA) yang meminta pemerintah mengkaji ulang kebijakan batas waktu izin pertambangan. Asosiasi berpandangan pemberian izin pertambangan harus sesuai dengan umur tambang agar eksploitasi dapat maksimal.

Fardi juga menegaskan, syarat izin pertambangan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Pertambangan Sumber Daya Mineral dan Batubara Nomor 4 Tahun 2009 (UU Minerba). Menurutnya, kebijakan tersebut dirancang tidak hanya untuk memastikan para penambang memenuhi standar peraturan, tetapi juga untuk memastikan para penambang melakukan pekerjaannya dengan tertib.

“Selama ini menteri kita banyak yang tidak beradab. Kalau tidak ada pembatasan, sulit, jadi terbatas waktunya,” kata Fardi kepada Besense, Rabu (9/10/2024).

Dia mengatakan, batas waktu izin pertambangan merupakan kendali pemerintah terhadap orang-orang yang terlibat dalam usaha tersebut. Artinya, jika pelaku usaha mendapat hasil buruk, pemerintah berhak tidak memperpanjang izin pertambangan.

Penulis buku “Mining Monster” ini menggambarkan, masih banyak penambang yang mempermainkan pemerintah dalam hal pembayaran royalti. Selain itu, ada kasus dimana penambang tidak melakukan pemulihan pasca penambangan.

Menurut dia, pelaku pertambangan yang mempunyai kinerja buruk tidak layak untuk diperpanjang izin pertambangannya. Sebaliknya, jika penambang sudah layak, maka mereka tidak perlu terlalu khawatir untuk memperbarui izin penambangannya.

“Keterbatasan waktu itu penting, tinggal penambang melakukan praktik penambangan yang baik dan ini pasti akan ditingkatkan, yang perlu profesional dalam menjalankan usahanya,” kata Fardi.

Komentar individu tersebut tentang penambang nakal sejalan dengan temuan Badan Audit Keuangan (FAA). Badan ini menemukan bahwa ratusan perusahaan belum memenuhi kewajiban mereka dalam melakukan perbaikan, pemulihan dan rehabilitasi lingkungan pascatambang. Dampaknya, negara bisa rugi ratusan triliun rupee.

Temuan-temuan tersebut terangkum dalam Laporan Temuan Pemeriksaan Khusus (PDTT) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) yang membahas tentang pemenuhan kewajiban pemegang izin dan karakteristik lingkungan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Tahun 2020-2023. dan institusi terkait lainnya.  

Sebagian pemeriksaan BPK menyoroti tiga poin penting. Pertama, pemegang izin usaha tercatat belum memulihkan fungsi ekologis di kawasan IUP yang telah dihentikan atau dibatalkan di lahan seluas kurang lebih 179.455 hektare.

Sementara itu, berdasarkan tinjauan data penempatan Jamrek/Jamtip, dari 2.026 orang, hanya 159 orang yang telah memasang jaminan. Total nilai jaminan rehabilitasi dan pascatambang sebesar Rp 5,9 triliun dan USD 1,84 miliar.

Kedua, pemegang izin usaha tercatat belum melakukan restorasi karya lingkungan tanpa IUP di wilayah bekas pertambangan yang luasnya kurang lebih 253.242,66 hektare.

BPK menyebut praktik tidak adil ini mengakibatkan kerusakan lingkungan sebesar Rp119,4 triliun. Total kerugian tersebut terdiri dari biaya rehabilitasi senilai Rp55,6 triliun, biaya penyelesaian sengketa senilai Rp1,3 triliun, dan kerusakan ekosistem senilai Rp62,4 triliun.

Ketiga, pemegang izin usaha terindikasi belum memulihkan kinerja lingkungan hidup dari IUP yang akan habis masa berlakunya setelah dua tahun, seluas kurang lebih 133.901,70 hektare yang belum dipulihkan.

Auditor Jenderal menemukan potensi kerugian akibat tidak dilaksanakannya reklamasi pascatambang sebesar Rp61,9 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari biaya rehabilitasi sebesar Rp29,4 triliun, ganti rugi biaya litigasi lingkungan hidup sebesar Rp190,2 miliar, dan kerusakan ekosistem sebesar Rp32,37 triliun.

BPK yang menelusuri lebih lanjut data jaminan pemulihan dan jaminan pascatambang, menemukan bahwa dari 492 pemegang IUP, hanya 61 pemegang IUP yang membukukan jaminan dengan nilai total Rp 3,39 triliun dan USD. 119 juta.

Oleh karena itu, Fardi pun menegaskan perpanjangan masa izin pertambangan hanya akan menambah kerugian pemerintah.

Malah negara rugi kalau tidak ada pembatasan, maka penambangnya tidak baik-baik saja, kata Fardi.

Sebelumnya, Ketua IMA Richmat Makasu mengatakan, kebijakan yang berlaku saat ini adalah izin pertambangan diterbitkan dalam jangka waktu tertentu. Di sisi lain, jangka waktu tersebut dapat menghambat investasi.

“Kami berharap pemerintah memperhatikan batasan usia pertambangan dengan memperhatikan aspek regulasi pertambangan, sehingga investor lebih siap dalam berinvestasi jangka panjang,” kata Rachamat Selasa (8/10/2024) di Jakarta. ).

Ia kemudian mengatakan, banyak negara lain yang tidak lagi membatasi jangka waktu izin pertambangan. Negara lain membatasi izin pertambangan dengan hanya beberapa peraturan, seperti peraturan lingkungan hidup. Namun, Rachmat tidak menyebutkan negara mana yang dimaksud.

Dia hanya menekankan agar pemerintah fokus pada aturan pada saat izin pertambangan. Menurutnya, hal ini penting untuk keberlangsungan industri pertambangan. Di sisi lain, Rachmat juga mengaku sudah mengajukan usulan kepada pemerintah.

“Usulan-usulan itu sudah kita sampaikan dalam beberapa pertemuan. Itu sudah dicatat dan ini salah satu yang akan kita pastikan ada poin-poin yang dibutuhkan industri pertambangan untuk menjamin keberlanjutannya,” jelas Rachmat.

Terkait hal tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahori belum mau berkomentar lebih jauh. Ia mengaku belum mengetahui detail usulan tersebut.

Saya cek dulu. Menteri tidak akan menegakkan hukum, kata Bahlil singkat di Jakarta, Rabu (10/9/2024).

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel