Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengakui penurunan daya beli tampaknya menyebabkan deflasi dalam lima bulan terakhir. 

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Moga Simatupang mengatakan penurunan permintaan di pasar dunia akibat konflik global berdampak pada ekspor beberapa produk Indonesia.

“Sehingga ekspor beberapa produk kita mengalami penurunan karena permintaannya menurun,” kata Moga dalam pertemuan di Kementerian Perdagangan, Senin (10/07/2024).

Dia mengatakan penurunan permintaan memaksa industri dalam negeri mengurangi produksi. Dampaknya adalah berkurangnya jam kerja dan penghentian kerja di sejumlah perusahaan yang turut mempengaruhi daya beli masyarakat.

Selain itu, minimnya program-program besar seperti hari raya dan pemilu juga menjadi penyebab menurunnya daya beli masyarakat.

“Dari segi daya beli, deflasi yang pertama berarti efek deflasi karena sekarang sedang terjadi peristiwa-peristiwa besar,” ujarnya.

Sedangkan peristiwa penting yang dimaksud adalah Idul Fitri dan pemilihan umum (Pemilu) tahun 2024. Ia yakin dengan digelarnya pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada November 2024 serta perayaan Natal dan Tahun Baru di akhir tahun ini, daya beli masyarakat bisa kembali meningkat.

Oleh karena itu, kami berharap Pilkada dan Nataru segera kembali normal (kemampuan membeli), ujarnya.

Indonesia melanjutkan tren deflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2024 mengalami deflasi sebesar 0,12% (mom/MtM).

Dengan demikian, Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut setelah sebelumnya mengalami deflasi selama 7 bulan berturut-turut pada tahun 1999.

Plt. Kepala BPS Amalia A. Vidyasanthi mengatakan komponen inti mengalami inflasi sebesar 0,16% dengan sumbangan inflasi sebesar 0,1%. Komoditas yang dominan menyumbang inflasi adalah kopi bubuk dan biaya pendidikan akademi/perguruan tinggi. 

Dalam pemaparan Amalia, inflasi inti yang terjadi pada September 2024 lebih tinggi dibandingkan September 2023 yang berada di level 0,12%. Namun inflasi pada periode tersebut lebih rendah dibandingkan Agustus 2024 yang sebesar 0,2 persen.  

Berbeda dengan komponen penyesuaian pemerintah yang mengalami deflasi sebesar 0,04% dan porsinya sebesar 0,01%. Hal ini terutama mendapat tekanan dari komoditas bensin seiring dengan turunnya harga bahan bakar non-subsidi pada September 2024.  

Sementara komponen volatil mengalami deflasi lebih dalam dengan kontribusi masing-masing sebesar 1,34% dan 0,21%. Utamanya cabai merah, cabai rawit, telur ayam ras, daging ayam ras, tomat, daun bawang, kentang dan wortel. 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA channel