Bisnis.com, Jakarta – Keuntungan industri perbankan naik sebesar $149,62 triliun pada Juli 2024 dalam tujuh bulan pertama. 

Berdasarkan statistik perbankan Indonesia yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pendapatan bunga bersih (NII) naik 2,71% year-on-year menjadi Rp 314,79 triliun pada Juli 2024. Mengingat margin bunga bersih, yang disebut NIM sendiri, meningkat. menjadi 4,59. % dari 4,57%.

Kepala Riset LPPI Trioksa Siahaan memperkirakan pendapatan pada semester II 2024 akan membaik dibandingkan kuartal I 2024 dengan tren penurunan suku bunga. 

“Tetapi kita juga perlu memperkirakan panas geopolitik global karena dapat meningkatkan harga minyak dan inflasi yang menyebabkan kenaikan suku bunga,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (24/9/2024).

Dia mengatakan, pertumbuhan laba tiap grup perbankan berbeda-beda, namun umumnya berada di angka satu digit. Pasalnya, suku bunga yang sebelumnya mencapai 6,25% berdampak pada cost of fund (CoF) yang membebani perbankan.

“Meski suku bunga mengalami penurunan sebesar 6%, namun perlu waktu untuk menyesuaikan suku bunga,” ujarnya.

Dari sisi aset, bank atau bank pelat merah mencatatkan laba sebesar 74,84 triliun, meningkat 3,34% secara tahunan dibandingkan Juli 2023 sebesar 72,42 triliun. Secara bulanan, laba tersebut meningkat sebesar 23,09 triliun sejak Juni 2024. .

Mantan Wakil Menteri BUMN Kartika Wirgoatmodjo mengatakan penurunan suku bunga akan berdampak pada pelonggaran likuiditas dan dari situ penyaluran kredit bisa didorong kembali.

“Ya, diperkirakan [suku bunga akan turun] ke depan, likuiditas bank akan menurun, dan dalam hal pertumbuhan utang, revisi ke atas dapat dipertimbangkan, dan profitabilitas akhir tahun akan terus tumbuh.” Satu digit,” ujarnya Bisnis, seperti dilansir Selasa (24/9/2024). 

Sementara itu, Bank Pembangunan Daerah (BPD) meraup keuntungan sebesar $7,81 triliun hingga Juli 2024. Secara bulanan, keuntungan BPD meningkat sebesar $1 triliun. Namun secara tahunan, kinerja tersebut mengalami penurunan sebesar 4,07% year-on-year dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang berjumlah $8,15 triliun. 

Sebelumnya, Wakil Presiden II Aspanda Busrol Iman menjelaskan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut, antara lain harga uang dan pembentukan cadangan kerugian rusak (CKPN). 

“Secara umum, profitabilitas menurun karena beberapa faktor, antara lain tingginya biaya pembiayaan yang dialami banyak BPD dan pembentukan CKPN,” ujarnya.

Ia melanjutkan, pembentukan CKPN dilakukan oleh beberapa bank daerah dalam upaya meningkatkan tingkat likuiditas.

Selain itu, Kelompok Bank Swasta Nasional meraih akumulasi keuntungan sebesar 58,57 triliun, meningkat 4,79 triliun per bulan. Secara tahunan, laba tersebut meningkat 8,9% year-on-year dibandingkan periode sebelumnya yakni Rp 53,78 triliun pada Juli 2023. 

Terakhir, Kantor Cabang Bank Asing (KCBLN) mencatat laba bulan Juli sebesar 8,4 triliun, meningkat signifikan sebesar 7,27 triliun pada Juni 2024, dan pertumbuhan year-on-year sebesar 24,13% pada periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 6,76 triliun pada tahun 2024. Juli. 2023. 

Kepercayaan terhadap perbankan pada triwulan II/2024 

Novita Widya Anggraini, CFO BNI, mengatakan pihaknya memperkirakan pertumbuhan pada semester II/2024 lebih baik dibandingkan semester I/2024.  

“Pada paruh pertama tahun 2024, kami masih tumbuh di bawah pasar karena kami fokus pada peningkatan basis, tetapi kemajuan utamanya adalah kami dapat tumbuh lebih baik,” ujarnya.

BNI bahkan merevisi target pertumbuhan utangnya pada tahun ini, yang awalnya menargetkan pertumbuhan 9%-11% y/y, kini naik menjadi 10%-12% y/y. Sementara itu, investasi BNI mampu tumbuh sebesar 11,7% year-on-year pada setiap triwulan 2024/1.

Direktur Utama BRI Sunarso mengatakan, bukan hanya soal BNI saja, penurunan suku bunga akan berdampak positif bagi BRI.

“Karena Belt and Road Initiative secara umum memiliki neraca yang sensitif dari segi kewajiban yaitu money to money ratio. Jadi kalau terjadi resesi, kita akan sangat diuntungkan,” ujarnya.

Menurut dia, penurunan BI rate dapat membantu memperbaiki kondisi likuiditas bank, sehingga bank dapat kembali meningkatkan segmentasi mikro dan ultra mikro.  

Hal ini disebabkan oleh penurunan suku bunga yang meningkatkan peredaran uang dan daya beli masyarakat serta konsumsi rumah tangga yang menjadi alasan utama permintaan pinjaman di daerah tersebut. “Inilah yang menjadi alasan utama permintaan pinjaman kecil,” kata Sunarso. 

Managing Director dan Head of Institutional Banking Group DBS Indonesia Kunardy Lie juga mengatakan, suku bunga menjadi tantangan bagi perusahaan.

DBS Indonesia tercatat mengalami penurunan sebesar 4,85% year-on-year menjadi US$844,95 miliar dibandingkan sebelumnya US$887,98 miliar pada kuartal I/2024.

Ia mengatakan, hingga saat ini, jika tingkat bunga 6,25%, bank akan memberikan pinjaman sebesar bunga yang dibayarkan kepada pemberi pinjaman, sehingga bank tidak akan memperoleh keuntungan yang cukup.

“DBS tidak bisa terlalu mengandalkan bisnis seperti biasa, namun yang perlu kami lakukan adalah meningkatkan tabel kecocokan, tidak hanya dalam hal pinjaman, tetapi juga bagaimana kami mendapatkan bisnis yang mendorong pendapatan,” ujarnya bersama Business.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel