Bisnis.com, JAKARTA – Setelah tertahan selama lebih dari 2 tahun (Agustus 2022—Agustus 2024), suku bunga (BI rate) Indonesia akhirnya mengalami penurunan.

Merujuk rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG) pada 17-18 September 2024, BI rate disesuaikan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6%.

Momen ini sudah lama ditunggu-tunggu karena pengetatan kebijakan moneter selama 25 bulan telah merugikan perekonomian. Sayangnya, pengetatan tidak hanya dilakukan oleh otoritas keuangan tetapi juga oleh pengelola keuangan. Namun, keuntungan modal (melalui kenaikan PPN) dimasukkan kembali ke dalam perekonomian melalui belanja.

Sebaliknya, pengetatan moneter menghasilkan likuiditas di bank sentral. Yang paling berat, pengetatan yang dilakukan Bank Indonesia dilakukan melalui dua kebijakan, yakni kenaikan suku bunga acuan dan penarikan uang melalui instrumen Surat Berharga Bank Indonesia (SRBI).

Khusus SRBI, data bulan September yang dikeluarkan hampir Rp 1.000 triliun. Mengeringnya likuiditas merupakan hal yang wajar. Ada banyak data yang menegaskan dampak negatif dari kebijakan yang ketat. Data tersebut mencerminkan situasi di sektor riil, industri, dan perekonomian masyarakat.

Dari sisi sektor riil, dampak kebijakan yang ketat terlihat pada menurunnya pertumbuhan ekonomi. Hal inilah yang menjadi sumber berbagai kemunduran, baik di sisi permintaan maupun di sisi penawaran (sektor usaha). Setelah pertumbuhan tertinggi pada tahun 2022 (akibat kenaikan harga komoditas), pertumbuhan ekonomi pada tahun 2023 dan 2024 akan terkoreksi.

Tahun lalu, kita hanya mampu tumbuh 5,05% seiring anjloknya harga komoditas. Perekonomian negara menyusut karena kepadatan penduduk. Upaya untuk meningkatkan perekonomian dari sudut pandang investasi terhambat oleh keengganan bank untuk membayar kembali pinjamannya. Kenaikan suku bunga acuan menyebabkan bank menaikkan suku bunga banknya.

Namun perbankan menaikkan suku bunga simpanan lebih tinggi untuk mengantisipasi migrasi dana ke instrumen bebas risiko (SRBI dan Obligasi Negara/SBN). Bank tidak bertanggung jawab dalam menetapkan suku bunga pinjaman karena mereka selalu memperoleh keuntungan dengan memasukkan uang ke dalam portofolio tanpa kredit.

Prospek pemulihan ekonomi pada tahun 2024 tidak ditemukan. Faktanya, pertumbuhan pada kuartal I 2024 masih jauh dari kata ‘akselerasi’ karena periode tersebut ditopang oleh tingginya konsumsi. Saat itu tidak hanya puasa dan lebaran saja, tapi juga pemilu presiden dan legislatif.

Sayangnya, perekonomian tumbuh sebesar 5,11%. Hal ini disebabkan oleh stagnannya dua pilar utama perekonomian negara, yakni konsumsi rumah tangga dan pembentukan modal tetap domestik bruto (PMTDB). Konsumsi dan investasi mendorong perekonomian untuk menyumbang sekitar 80% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Namun peran keduanya kurang baik karena pertumbuhannya rendah, bahkan di bawah pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhannya rendah berarti posisinya kurang baik. Artinya, kekuatan perekonomian dalam negeri menjadi lumpuh di tengah tantangan perekonomian global.

Idealnya, ketika perekonomian global lemah, maka perekonomian lokal harus kuat. Dengan begitu, perekonomian tetap bisa tumbuh, setidaknya hingga sesuai target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dari perspektif industri, data indeks manajer pembelian (PMI) memberikan gambaran konkrit mengenai situasi yang dihadapi dunia usaha. PMI di atas 50 berarti industri manufaktur sedang berkembang, begitu pula sebaliknya.

Pada masa pandemi Covid-19, posisi PMI terendah pada Juli 2021 adalah sebesar 40,1, naik menjadi 43,7 pada Agustus tahun yang sama. Pada September 2021-Juli 2024, PMI menunjukkan ekspansi. Namun pada Juli dan Agustus 2024, PMI berada pada level kontraksi 49,3 dan 48,9.

Penurunan tersebut dibuktikan dengan meningkatnya utang sektor industri yang menurun. Pada April 2024, utang industri pengolahan meningkat 12,25% (YoY), turun menjadi 9,94% (YoY) pada Juni. Meski cukup tinggi, namun pertumbuhan utang industri pengolahan sangat rendah karena lebih rendah dibandingkan pertumbuhan utang nasional.

Kekhawatiran lainnya adalah menyempitnya selisih kredit di industri pengolahan. Sebelum pandemi Covid-19, industri pengolahan menyumbang 16,5% (2019) utang bank. Pada tahun 2024, industri pengolahan hanya mendapat 15,76% kredit perbankan. Angka tersebut terus menurun pada tahun 2024, menjadi 15,5% pada bulan Juni.

Inflasi merupakan salah satu indikator daya beli masyarakat. Agustus 2022, inflasi inti masih 3,04%. Inflasi inti masih meningkat hingga mencapai level terkuatnya pada Desember 2022 sebesar 3,36%. Pada tahun 2023, inflasi inti turun di bawah 3% dan mencapai 1,8% pada bulan Desember.

Angka tersebut kurang dari target minimal Bank Indonesia sebesar 3±1%. Meski diturunkan, suku bunga di Indonesia masih sangat tinggi.

Dampak kebijakan ini sangat besar terhadap perekonomian. Pertumbuhan ekonomi melambat karena rendahnya konsumsi dan investasi. Kedua komponen ini menopang perekonomian dalam negeri yang seharusnya didorong oleh pertumbuhan yang tinggi.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel