Bisnis.com, Jakarta – Kebijakan ekspor pasir berupa sedimen laut menimbulkan kontroversi di tahun-tahun terakhir pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Memang benar, banyak pemangku kepentingan menduga bahwa kebijakan ini dapat membuka peluang bagi Singapura untuk meluncurkan megaproyek pelabuhan terbesar untuk ekspor pasir.
Kontroversi tersebut kembali mencuat belakangan setelah Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Palmendag) nomor. 20 Tahun 2024 Peraturan Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang Larangan Ekspor, Peraturan Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan Ekspor, dan Peraturan Menteri Perdagangan No. Peraturan Perdagangan Nomor 21 Tahun 2024 tentang Kebijakan Ekspor.
Revisi aturan ini merupakan tindak lanjut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Sedimen Laut. Salah satu ketentuan yang diatur dalam peraturan ini adalah pemanfaatan sedimen berupa pasir laut untuk tujuan ekspor, dengan ketentuan memenuhi persyaratan setempat dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebelumnya, pemerintah juga telah menetapkan tujuh lokasi yang tunduk pada Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan Nomor 2. Curah hujan terjadi di lautan.
Ketujuh lokasi tersebut adalah Demak, Provinsi Jawa Tengah, dengan potensi volume sedimen laut sebesar 1,72 miliar meter kubik, Surabaya, Provinsi Jawa Timur, dengan potensi volume 399 juta meter kubik, dan Cirebon, Provinsi Jawa Barat, dengan potensi volume sedimen laut sebesar 399 juta meter kubik. 621 juta meter kubik.
Disusul Indramayu, Jawa Barat, dengan potensi volume sedimentasi laut 1,1 miliar meter kubik, Karwan, Jawa Barat, 1,74 miliar meter kubik, Selat Makassar, Kalimantan Timur, 2,97 miliar meter kubik, serta Natuna bagian utara dan Kepulauan Riau. dengan 90 juta meter kubik. meter kubik.
Total potensi volume sedimen dari ketujuh lokasi tersebut berjumlah 17,65 miliar meter kubik.
Banyak pemangku kepentingan percaya bahwa hal ini dapat membuka peluang ekspor pasir ke berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Natuna Singapura dan Natuna Utara, untuk mendukung rencana megaproyek pelabuhan terbesar di negara ini.
Direktur Eksekutif Aliansi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menilai kawasan Natuna-Natuna Utara merupakan wilayah yang paling membutuhkan pengerukan. Sebab, total potensi volume simpanan dari tujuh lokasi tersebut mencapai 17,65 miliar meter kubik, dimana 51% di antaranya berasal dari Natuna atau 9,09 miliar meter kubik.
Hal ini juga menimbulkan pertanyaan apakah dampak sedimen di Natuna dan Natuna Utara mungkin begitu luas dibandingkan dengan enam lokasi lainnya sehingga negara mengizinkan terjadinya hingga 9,09 miliar meter kubik.
Dia menduga hal itu berkaitan dengan rencana Singapura membangun proyek reklamasi Pelabuhan Tuas yang digadang-gadang akan menjadi pelabuhan terbesar di dunia.
“Kami berusaha bersikap baik, tapi saya rasa kami tidak bisa bersikap baik dalam kasus ini, karena 9 miliar itu bukan main-main,” kata Susan dalam jumpa pers pekan lalu.
Chiara juga memperkirakan Indonesia bisa menghasilkan pendapatan nasional bukan pajak (PNBP) senilai Rp 1,122 triliun dari ekspor pasir laut akibat sedimentasi.
Nilai tersebut diperoleh berdasarkan perhitungan total kebutuhan material untuk ekspor yang diperkirakan mencapai 17,23 miliar meter kubik.
Dari total potensi volume sedimen di tujuh lokasi pengerukan, sebanyak 17,65 miliar meter kubik sedimen melebihi kebutuhan material remediasi lokal sebesar 421 juta meter kubik.
Dengan menggunakan harga acuan luar negeri sebesar Rp 186.000 per meter kubik dan 35% PNBP sebagaimana diatur dalam Peraturan Kelautan dan Perikanan Nomor 6 Tahun 2024, total PNBP yang diterima sebesar Rp 1.122 triliun.
Artinya PNBP akan mendapat Rp 1.000 triliun. Itu asumsi, kata Susan.
Sementara PNBP yang diterima negara dari pemanfaatan pasir laut dalam negeri diperkirakan mencapai Rp 11,7 triliun. Asumsi nominal ini menggunakan patokan harga sebesar Rp 93.000 per meter kubik dan PNBP 30% serta mengasumsikan jumlah bahan perbaikan rumah yang dibutuhkan sebesar Rp 421 juta.
Meski bisnis ini sangat menguntungkan, Susan mempertanyakan dampaknya terhadap kedaulatan dan kesejahteraan nelayan. Jangan memberikan keuntungan yang diterima PNBP kepada nelayan.
Artinya kalau hanya bicara angka, PNBP menjadi omong kosong, karena kenyataannya kedaulatan dan kesejahteraan nelayan sangat jauh, ujarnya.
Sementara itu, Presiden Jokowi menegaskan, kebijakan pembukaan ekspor produk sedimen laut tidak boleh disalahartikan sebagai pembukaan ekspor pasir laut yang sudah dilarang selama 20 tahun terakhir.
Ia menegaskan, ia berharap semakin banyak pemangku kepentingan yang tidak salah menafsirkan kebijakan pemerintah, karena pemerintah hanya membuka pintu ekspor sedimen laut.
“Lagi-lagi bukan pasir laut, itu lanau terbuka, lanau yang menghalangi arus kapal. Sekali lagi bukan, nanti kalau diterjemahkan pasirnya beda ya, lanaunya beda, padahal kalaupun itu pasir. Iya itu lanau , baca di sana, lanau,” kata Jokowi, Selasa (17/9/2024) di Gedung Pusat Keuangan Islam Indonesia dan Kantor FIBA Indonesia, Menara Danaleksa, Jakarta, yang saya sampaikan usai pembukaan.
Sementara itu, pemerintah juga akan memastikan pemantauan dan verifikasi ketat dilakukan untuk memastikan proses ekspor pasir berupa lumpur bawah air sesuai aturan.
Direktur Jenderal Bea Cukai dan Konsumen Kementerian Keuangan (KMANKU) Ascolani menjelaskan hal tersebut diperbolehkan berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) dan Peraturan Menteri Kelautan. dan Perikanan. Alih-alih pasir laut, kita mengekspor sedimen ke laut.
Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel