Bisnis.com, JAKARTA – Pinjaman Asian Development Bank (ADB) sebesar USD 500 juta atau sekitar Rp 7,59 triliun (dengan asumsi nilai tukar Rp 15.185 per USD) dari Indonesia untuk membiayai program transformasi energi. untuk dapat menambah beban utang negara, termasuk BUMN energi.

Pada saat yang sama, pinjaman yang disetujui ADB ini bertujuan untuk memperkuat kebijakan dan peraturan untuk transisi energi ramah lingkungan dan mendorong tata kelola yang lebih baik di sektor energi. 

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (CELIOS), menyatakan keprihatinannya atas penambahan utang baru ini. 

“Utang pemerintah saat ini lebih dari Rp 8.500 triliun. Dengan sisa utang sebesar Rp 1.350 triliun beserta bunga pada tahun 2025 yang sebagian akan dilunasi dengan utang baru, maka utang negara diperkirakan mencapai Rp 9.500 hingga 10.000 triliun di masa depan. , “katanya. ditambahkan. kata Bhima dalam siaran persnya, Sabtu (21/9/2024). 

Bhima menegaskan, tambahan pinjaman ADB hanya akan memperketat ruang fiskal dan meningkatkan ketergantungan terhadap utang luar negeri.

Bhima juga mengingatkan bahwa Indonesia tidak hanya bergantung pada pinjaman ADB tetapi juga pada Kemitraan Transisi Energi yang Berkeadilan (JETP). Namun, program JETP hanya memberikan dukungan sebesar 1,32%, atau $284,4 juta, dari total komitmen sebesar $21,6 miliar. 

Menurut Bhima, skema tersebut masih didominasi oleh pinjaman berbunga rendah (soft loan) yang membebani negara dalam proses transisi energi.

Celios juga memperingatkan bahaya transisi energi yang terlalu bergantung pada utang. Bhima menambahkan, skema tersebut mirip dengan Structural Adjustment Program (SAP) era krisis tahun 1998, di mana perubahan peraturan diterapkan sebagai syarat pemberian pinjaman. Ia memperingatkan bahwa meskipun krisis yang terjadi saat ini terkait dengan perubahan iklim, model kredit bersyarat terus mengancam negara-negara berkembang.

Peneliti Celios Atinna Rizqiana menekankan peran lembaga multilateral seperti ADB dalam mendukung negara berkembang. Ia meminta pemerintah lebih gigih meminta dukungan lebih besar dari lembaga keuangan internasional.

“Jika tujuannya adalah untuk berkontribusi pada transisi energi berkelanjutan, maka bantuan harus diberikan dalam bentuk hibah, bukan pinjaman yang hanya akan memperdalam lubang utang Indonesia,” ujarnya. 

Celios menegaskan, pinjaman ADB sebesar US$300 juta akan digunakan untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Meski pemerintah mengklaim energi panas bumi merupakan solusi ramah lingkungan, Celios menemukan permasalahan serius terkait dampak lingkungan dan sosial dari proyek PLTP. 

“Dari 18 PLTP yang terpasang, 15 diantaranya mengalami permasalahan mulai dari pencemaran air tanah akibat pengabaian hukum adat hingga konflik sosial,” kata salah satu peneliti Whisnu. 

Peneliti energi Celios, Fiorentina Refani, mengatakan pemerintah tidak boleh menutup mata terhadap dampak negatif proyek panas bumi. 

“Alih-alih menyelidiki kecelakaan yang terjadi atau memberikan sanksi, pemerintah justru sering mengingkarinya dan tetap mendukung investasi panas bumi. ADB, sebagai lembaga yang memiliki komitmen tinggi terhadap lingkungan, harusnya lebih pintar mengukur sistem pembiayaan yang adil dan adil. transisi energi berkelanjutan,” tambahnya. kata Fio. 

Berdasarkan berbagai pandangan yang diungkapkan Celios, jelas bahwa pembiayaan transisi energi melalui pinjaman dapat meningkatkan beban utang Indonesia dan menciptakan tantangan baru dalam mewujudkan energi berkelanjutan yang adil dan inklusif.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel