Bisnis.com, Jakarta – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menduga sedimen pasir yang ditemukan di beberapa wilayah Indonesia, termasuk Natuna dan Natuna Utara, mendukung rencana mega proyek pelabuhan terbesar di Shireland. .

Sekjen Kiara Susan Hirawati menilai kawasan Natuna-Natuna Utara merupakan wilayah yang paling membutuhkan pertambangan. Sebab, total potensi volume sedimen yang dihasilkan dari tujuh lokasi tersebut mencapai 17,65 miliar meter kubik, dengan 51% berasal dari Natuna atau 9,09 miliar meter kubik.

Hal ini juga menimbulkan keraguan apakah mungkin dampak sedimentasi di Natuna dan Natuna Utara begitu luas dibandingkan enam lokasi lainnya sehingga negara mengeluarkan konsesi hingga 9,09 miliar meter kubik.

Dia menduga hal itu ada kaitannya dengan rencana Singapura membangun Proyek Reklamasi Pelabuhan Tawas yang digadang-gadang akan menjadi pelabuhan terbesar di dunia.

“Kami berusaha bersikap baik, tapi saya rasa kami tidak bisa berbaik hati dalam kasus ini, karena 9 miliar itu bukan angka main-main,” kata Susan dalam jumpa pers, Jumat (20/9/2024).

Beberapa waktu lalu, pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut yang salah satunya digunakan untuk ekspor dengan syarat memenuhi persyaratan dalam negeri dan memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan no. 16/2024 Dalam dokumen perencanaan pengelolaan hasil sedimen laut, pemerintah telah menetapkan tujuh lokasi yang dapat dijadikan lokasi penambangan pasir laut dengan dalih pengelolaan hasil sedimen laut.

Lokasi tersebut adalah Damak, Jawa Tengah dengan potensi volume sedimen laut sebesar 1,72 miliar meter kubik, Surabaya, Jawa Timur dengan potensi 399 juta meter kubik, dan Cirebon, Jawa Barat sebesar 621 juta meter kubik.

Setelah itu Andaramayo, Jawa Barat dengan potensi volume sedimen laut 1,10 miliar meter kubik, Karawang, Jawa Barat 1,74 miliar meter kubik, Selat Makassar, Kalimantan Timur 2,97 miliar meter kubik, dan Natuna-Natuna Utara, Kepulauan Riau. 9,09 miliar meter kubik.

Secara total, potensi volume hasil sedimen di ketujuh lokasi tersebut mencapai 17,65 miliar meter kubik. PNBP

Kiara juga memperkirakan Indonesia berpotensi mengumpulkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (GNBP) sebesar Rp 1,122 triliun dari ekspor pasir laut hasil sedimen. 

Nilai tersebut diperoleh dengan menghitung total kebutuhan material untuk ekspor sebesar 17,23 miliar meter kubik. 

Dari total potensi volume sedimen hasil tujuh lokasi pengerukan, volume sedimen hasil yang dibutuhkan sebanyak 17,65 miliar meter kubik dikurangi 421 juta meter kubik material reklamasi dalam negeri.

Dengan menggunakan harga referensi luar negeri sebesar Rp 186.000 per meter kubik per 6/2024 dan PNBP 35%, total PNBP yang diterima sebesar Rp 1,122 triliun sesuai keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan. 

Artinya akan diterima Rp 1.000 triliun dalam PNBP. Itu asumsi, kata Susan dalam jumpa pers, Jumat (20/9/2024).

Sementara PNBP konsumsi pasir laut dalam negeri diperkirakan mencapai Rp 11,7 triliun. Asumsi sederhana ini mengasumsikan kebutuhan bahan rehabilitasi dalam negeri sebanyak 421 juta dengan harga acuan Rp 93.000 per meter kubik dan PNBP 30%.

Meski pekerjaan tersebut cukup menarik, Susan kemudian mempertanyakan dampaknya terhadap kemandirian dan kesejahteraan nelayan. Jangan sampai PNBP menguntungkan nelayan.

Artinya PNBP menjadi omong kosong jika hanya bicara angka. Karena dalam praktiknya kedaulatan dan kesejahteraan nelayan jauh sekali, ujarnya.

Direktur Pusat Kajian Pembangunan Maritim dan Peradaban Maritim Universitas Trilogi Jakarta, Muhammad Karim meminta pemerintah membatalkan kebijakan penanganan dampak sedimentasi di laut.

Kebijakan yang relevan adalah Peraturan Pemerintah (PP) no. 26 Tahun 2023 tentang pengelolaan hasil sedimen di laut, termasuk peraturan turunannya seperti Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) no. 21 Tahun 2024 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PermenKP) No.33/2023.

“Kebijakan ini bukan solusi pengelolaan dan pengendalian sedimen laut,” kata Karim dalam jumpa pers, Jumat (20 September 2024).

Ia mengatakan sedimen laut itu alami. Misalnya saja akibat bencana alam seperti letusan gunung berapi yang menyebabkan aliran lahar dari daerah aliran sungai (DAS) mengalir ke laut.

Sedimentasi laut juga dapat terjadi akibat eksploitasi ekstraktif manusia di wilayah hulu dan pesisir yang masuk ke perairan laut, seperti pertambangan. 

Alih-alih meningkatkan kesejahteraan nelayan, kebijakan tersebut justru dilihat sebagai kesejahteraan oligarki dan korporasi yang akan mendapat izin menambang pasir laut.

“Bagi saya, kebijakan seperti ini tentu tidak akan berdampak pada kesejahteraan nelayan,” ujarnya.

Menurutnya, jika negara ingin mengelola sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan untuk kepentingan rakyat, maka pemerintah harus mencabut peraturan tersebut. 

“Kita tidak boleh lagi mengambil kebijakan-kebijakan yang akan menimbulkan masalah baru di negeri ini. Karena terlalu banyak masalah yang kita hadapi,” tutupnya.

Pada Mei 2023, pemerintah mengesahkan PP No. 26/2023. Dengan keputusan tersebut, pemerintah memperbolehkan pemanfaatan hasil sedimen di laut berupa pasir laut untuk keperluan reklamasi dalam negeri guna pembangunan infrastruktur, pembangunan infrastruktur negara oleh badan usaha.

Pemerintah juga memperbolehkan ekspor hasil sedimen, asalkan kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan ketentuan hukum terpenuhi. 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel