Bisnis.com, JAKARTA — Ketentuan terkait Jaminan Kematian (JKM) BPJS Ketenagakerjaan disebut perlu segera diubah untuk menghindari potensi defisit aset JKM BPJS Ketenagakerjaan. Pemerintah berencana mencapai rasio klaim JKM 100% mulai tahun 2026.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Anwar Sanusi mengatakan, banyak penyebab menurunnya stabilitas dana JKM BPJS Ketenagakerjaan karena adanya pemberian rekomposisi iuran JKM untuk membiayai Pekerjaan. Program Jaminan Kerugian (JKP) 0,1% Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). 

Dikatakannya, momentum peninjauan kembali program JKP pada tahun ini bisa diperoleh dengan mengubah pasal pembiayaan iuran JKP yang semula melalui rekomposisi iuran JKK dan JKM serta iuran Pemerintah diubah ke skema baru, misalnya menghilangkan rekomposisi iuran JKM.

Momentum peninjauan kembali program JKP pada tahun ini dapat dilakukan dengan mengubah pasal pendanaan iuran JKP yang semula melalui rekomposisi iuran JKK dan JKM serta iuran pemerintah. komposisi iuran JKM,” kata Sanusi dalam Bisnis, Jumat (6/9/2024).

“Untuk menyikapi hal tersebut, Kementerian Ketenagakerjaan telah menerapkan perhitungan aktuaria secara mendalam dan simulasi terhadap program JKM dan program JKP sebagai landasan perubahan peraturan ke depan,” lanjutnya.

Faktor lain yang menurut Kementerian Ketenagakerjaan mempengaruhi kesehatan keuangan JKM adalah tingginya tingkat klaim JKM di masa pandemi Covid-19. Selain itu, sejak pertengahan Agustus 2020 hingga Januari 2021 pemerintah memberikan keringanan iuran JKM sebesar 99%.

Faktor terakhir adalah peningkatan besaran manfaat program JKM menjadi Rp42 juta yang terdiri dari santunan kematian sebesar Rp20 juta, biaya pemakaman Rp10 juta, dan pembayaran berkala selama 24 bulan yang dibayarkan sekaligus sebesar Rp12 juta. Selain itu, ada juga manfaat berupa beasiswa pendidikan dengan batasan maksimal Rp 174 juta untuk maksimal dua orang anak. 

Aturan yang mengatur tentang relaksasi bantuan iuran JKM adalah PP Nomor 82 Tahun 2019 yang merupakan revisi pertama dari PP Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian.

Sedangkan pada revisi kedua yakni PP Nomor 49 Tahun 2023 hanya diatur kepesertaan JKK dan JKM dari segmen pegawai pemerintah non-ASN. 

Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mendesak Kementerian Ketenagakerjaan segera mengajukan revisi ketiga PP 44 tahun 2015 untuk menyelamatkan kesehatan keuangan JKM BPJS Ketenagakerjaan. Namun hal tersebut sepertinya belum dijadikan prioritas utama oleh Kementerian Ketenagakerjaan.

“Saat ini rencana perubahan ketiga PP 44/2015 belum dimulai oleh Kementerian Ketenagakerjaan, karena saat ini Kementerian Ketenagakerjaan masih dalam proses penyusunan turunan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dari PP 49/2023 tentang Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Kedua. Perubahan PP 44/2015,” kata Sanusi.

Dijelaskannya pula, PP 49/2023 lahir menyusul lahirnya PP 37/2021 tentang Penyelenggaraan Program JKP. “Salah satu cara pembiayaan program JKP adalah dengan rekomposisi iuran JKK dan JKM,” ujarnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel