Bisnis.com, JAKARTA – Intoleransi laktosa merupakan suatu kondisi yang sering kita alami namun seringkali tidak kita sadari, terutama pada anak-anak. Itu sebabnya penting bagi orang tua untuk mengenali gejalanya. 

Berdasarkan data Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition (APJCN), prevalensi intoleransi laktosa pada anak Indonesia usia 3 hingga 5 tahun cukup tinggi, hingga 21,3 persen. Sedangkan kelompok umur 6-11 tahun sebesar 57,8 persen. 

Sayangnya, banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa anaknya mengalami intoleransi laktosa atau alergi terhadap susu sapi. Bahkan, mereka khawatir jika tidak ditangani dapat mengganggu tumbuh kembang anak. 

Manajer Pemasaran Medis Kalbe Nutritionals, Dr. Dewi Virdianti Pangastuti menjelaskan intoleransi laktosa adalah ketidakmampuan tubuh dalam menyerap laktosa. Laktosa sendiri merupakan bagian dari karbohidrat alami yang ada pada susu sapi. 

“Jadi kalau masuk ke dalam tubuh, laktosa akan diserap, laktosa akan dipecah. Begitu dipecah, akan diserap, dan proses penyerapannya membutuhkan enzim laktase. Namun, pada kondisi intoleransi laktosa, maka laktosa akan diserap. enzim laktase tidak bisa membantu proses penyerapan,” kata dr Dewi, dikutip Senin (26/08/2024). 

Ia menjelaskan, intoleransi laktosa terbagi menjadi dua, yakni intoleransi laktosa primer dan sekunder. Intoleransi laktosa primer disebabkan oleh beberapa faktor yang menyebabkan kurangnya atau penurunan produksi enzim laktase. 

“Intoleransi laktosa primer juga bisa disebabkan oleh kurangnya produksi enzim laktase pada anak secara bawaan. Kondisi ini biasanya baru muncul setelah anak memasuki usia remaja,” jelasnya. 

Sedangkan intoleransi laktosa sekunder sering terjadi pada anak-anak karena merupakan akibat dari penyakit yang diderita sebelumnya. Misalnya, jika anak mengalami diare dan kembung, maka usus halus tidak dapat memproduksi enzim laktase. 

“Jika tidak ada enzim laktase, maka laktosa susu tidak dapat diserap dengan baik. Anak akan semakin sering diare, masuk angin, dan lain-lain. Hal ini juga bisa terjadi pada bayi, misalnya karena lahir prematur, yang sistem pencernaannya kurang sempurna, lalu enzim “laktase tidak diproduksi dengan baik,” jelas dr Dewi Gejala intoleransi laktosa dan perbedaan alergi susu sapi

Intoleransi laktosa berbeda dengan alergi susu sapi, namun umumnya memiliki gejala yang mirip, itulah sebabnya banyak orang sering bingung membedakan keduanya. 

Salah satu perbedaan yang jelas antara intoleransi laktosa dan alergi susu sapi adalah ketika Anda alergi susu sapi, sistem kekebalan tubuh biasanya bereaksi dengan protein susu sapi sebagai pemicunya. 

Dengan alergi susu sapi, tubuh anak tidak toleran terhadap protein susu sapi yang mengandung whey dan kasein. 

Sedangkan jika mengalami intoleransi laktosa (karbohidrat), karena tidak ada enzim laktase atau enzim laktase tidak diproduksi dengan baik, maka anak lebih sensitif terhadap laktosa. 

Namun gejalanya umumnya serupa, terutama gejala gastrointestinal. Gejala alergi bisa muncul pada saluran pencernaan, pada kulit, dan pada saluran pernafasan. 

Anak mudah mengalami diare, kembung, mual dan muntah, ruam, bintik merah, gatal-gatal, dan bayi mengi atau bersin. 

Sedangkan gejala intoleransi laktosa juga ada pada sistem pencernaan, namun tidak ada gejala pada kulit dan tidak ada gejala pada pernafasan. 

Gejala khas intoleransi laktosa umumnya adalah perut sangat kembung dan “berderit” pada saluran pencernaan. Selain itu, jika bayi masih memakai popok, area anus bayi biasanya akan berwarna agak merah dan berbau asam. 

Sebab, laktosa bersifat asam dan menghasilkan gas, jelasnya.  Cara mengatasi intoleransi laktosa

Untuk mengatasi intoleransi laktosa, anak dapat diajarkan untuk mengonsumsi produk pengganti susu sapi, seperti isolat protein kedelai atau susu kedelai. 

Isolat protein kedelai umumnya dimurnikan agar kandungan nutrisi yang tidak diperlukan anak-anak dihilangkan. Namun isolat protein kedelai dapat menggantikan fungsi susu sapi dalam memenuhi kebutuhan protein. 

Dr. Dewi mengatakan, anak dengan intoleransi laktosa tetap memerlukan pola makan seimbang yang mencakup 30 persen protein, sekitar 50 persen karbohidrat, dan sekitar 20 persen lemak. 

Susu sapi merupakan sumber protein yang dapat digantikan dengan mengonsumsi sumber nutrisi protein lain, misalnya dengan mengonsumsi daging, ayam, tempe. 

Kemudian sebagai sumber karbohidrat, anak bisa mengonsumsi nasi, kentang, jagung dan masih banyak lagi sumber karbohidrat lainnya yang bisa divariasikan. 

Selain itu, intoleransi laktosa dapat membaik seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu, bila gejala anak sudah membaik, ia dapat diberikan kembali makanan yang mengandung laktosa.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA channel