Bisnis.com, Jakarta – Emiten bank jumbo seperti PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) mencatatkan perubahan harga saham yang fluktuatif. Bagaimana prospek masa depan saham-saham bank besar?

Harga saham BBCA tetap tidak berubah di level 10.325 pada penutupan perdagangan Jumat (25/08/2024) berdasarkan bisnis RTI. Sementara harga saham BBCA naik 9,84% year to date (YTD). 

Setelah itu, harga saham BMRI juga tetap stabil di Rp 7.050. Sayangnya, harga saham BMRI harus anjlok 0,35% dalam sepekan. Namun harga saham BMRI naik 16,53%.

Sebaliknya, harga saham BBRI menguat 1,98% pada perdagangan Jumat (25 Agustus 2024). Harga sahamnya naik 6,63 persen dalam sepekan. Namun secara YTD harga saham BBRI turun 10,04%.

Sementara itu, harga saham BBNI juga mengalami kenaikan sebesar 3,32% pada Jumat (25 Agustus 2024). Sejalan dengan itu, harga saham BBNI selama sepekan ditutup 2,83% di zona hijau dan menguat 1,4% sejak awal tahun.

Jembong Suwito, CEO Jura Financial Plan, mengatakan Ketua Fed Jerome Powell telah memberikan sinyal kuat secara global bahwa penurunan suku bunga akan dimulai pada September 2024.

Menurut dia, data inflasi AS yang turun signifikan yakni 2,9% pada Juli 2024 seiring dengan tren peningkatan angka pengangguran dan melemahnya data pertumbuhan lapangan kerja, memberikan tekanan pada Nonfarm Payrolls (NFP) AS selama tiga bulan. The Fed akan segera menurunkan suku bunganya.

Selain itu, Jembong mengatakan konsensus pasar memperkirakan penurunan suku bunga setidaknya 25 basis poin pada bulan September dan potensi 50 basis poin hingga akhir tahun 2024.

“Ini menjadi katalis positif bagi pasar saham global dan domestik Indonesia,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (25/08/2024).

Jembong mengatakan, nilai tukar rupiah yang saat ini berkisar antara Rp15.400 hingga Rp15.500, dari sebelumnya sekitar Rp16.500, mendorong investor asing kembali ke Indonesia.

“Mood dan prospek pasar Indonesia sebagian besar positif,” katanya. 

Berdasarkan laporan keuangan pokok perbankan, khususnya bank-bank besar, rata-rata pendapatan (EPS) keempat bank tersebut masih tumbuh baik antara 1 hingga 11 persen.

“BCA mengalami laba/EPS tertinggi di antara bank-bank besar lainnya, dan pendapatan pun meningkat,” ujarnya. 

Sementara itu, Senior Investment Mirae Asset Securitas, Nafan Aji Gusta menegaskan, selama peak period diterapkan tentu berpotensi memperlambat dana pihak ketiga (DPK) karena membatasi likuiditas perbankan. Perbankan menahan ekspansi kredit.

“Jika dilakukan kebijakan moneter ekspansif tentu akan berdampak positif terhadap prospek pertumbuhan DPK karena akan mempengaruhi pertumbuhan potensi uang beredar,” kata Nafan.

Dengan begitu, menurut Nafan, perbankan bisa melakukan ekspansi kredit, karena jika suku bunga acuan turun maka otomatis pertumbuhan penyaluran kredit akan meningkat. 

Di sisi lain, Analis Maybank Securitas Indonesia Jefrosenberg Chenlim dan Faikh Asad mengatakan pertumbuhan kredit industri naik hingga 12,4 persen pada semester I/2024. Namun, dengan rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) yang meningkat menjadi 85,8% pada Juni 2024, pertumbuhan kredit kemungkinan akan melambat. 

“Sebagai hasilnya, kami mempertahankan perkiraan pertumbuhan kredit tahun 2024 sebesar 10 persen, dan mengharapkan semester II/2024 yang moderat,” tulisnya dalam penelitian yang diterbitkan pada 8 Juli 2024.

Namun pihaknya merekomendasikan dan mengunggulkan saham BMRI, BBCA, BRIS, BBNI, dan BBRI.

Dalam studi yang sama, arus keluar investor asing dalam jumlah besar dilaporkan pada kuartal kedua tahun 2024, namun ada juga arus keluar investor asing dalam beberapa bulan terakhir meskipun ada penarikan besar-besaran.

Investor asing paling banyak membeli di BBCA, BMRI dan BRIS, sedangkan investor asing terus masuk ke BBNI dan BBRI.

Menurut kedua analis tersebut, jika Amerika mulai menurunkan suku bunganya, nilai tukar rupiah kemungkinan akan menguat dan membuat perbankan Indonesia lebih menarik bagi investor asing. 

Oleh karena itu, kami yakin bank-bank besar di Indonesia dengan potensi pertumbuhan yang kuat akan mendapatkan keuntungan terbesar dari investasi asing, kata studi tersebut.

Penafian: Berita ini tidak dimaksudkan untuk mendorong Anda membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab atas segala kerugian atau keuntungan yang diakibatkan oleh keputusan investasi pembaca.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA channel