Bisnis.com, JAKARTA –  Pemerintah di berbagai negara seperti China, India, dan Vietnam memberikan dukungan luas dalam hal pendanaan untuk memperbaiki lingkungan kendaraan listrik (EV).

Direktur SE Asia Rocky Mountain Institute (RMI), Rizky Fauzianto mengatakan, Indonesia harus mengikuti kebijakan negara-negara tersebut untuk mempercepat penerapan kendaraan listrik.

Ia mencontohkan, pemerintah China merinci bentuk dan harga asuransi kendaraan listrik yang mengatur bagaimana perusahaan asuransi dapat menetapkan premi berdasarkan risiko.

“Di China, rencana ini membantu penurunan premi asuransi mobil listrik hingga 23%, hal ini yang akan kita diskusikan dengan Kementerian Koordinator Kelautan dan Perikanan,” kata Rizky dalam Forum Pertukaran Pengetahuan AEML, Kamis (22/1). 8) ) . ).

Selain itu, kata dia, Filipina juga mendapat dana dari Asian Development Bank (ADB) yang diberikan kepada produsen dalam negeri untuk memproduksi alat pembayaran dan produknya diekspor ke berbagai negara.

Belum lagi, Vietnam juga mendapat pinjaman dari ADB sebesar US$ 135 juta kepada pabrikan lokalnya yakni VinFast untuk membangun mobil listrik, bus listrik, dan jaringan jalan raya. Selain itu, VinFast juga mendapat dukungan finansial dari lembaga keuangan Be Group.

“VinFast akan mengintegrasikan kendaraan roda dua dan roda empat ke dalam industri ride-hailing dan pengiriman, sehingga meningkatkan jumlah kendaraan listrik di tanah air,” ujarnya.

Di sisi lain, di India, Small Industries Development Bank of India (SIDBI) juga menawarkan jaminan pinjaman bagi pemberi pinjaman yang memberikan pinjaman untuk kendaraan listrik.

Tak hanya itu, lembaga dan penyedia layanan di India juga memberikan pinjaman lunak kepada pemain mobil listrik sebesar $6 juta, tutup Rizky. Tantangan Pembiayaan EV di Indonesia

Saat ini pengembangan kendaraan listrik (EV) di Indonesia menghadapi beberapa tantangan, salah satunya di sektor keuangan karena tingginya biaya. 

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengatakan jumlah mobil listrik di Indonesia masih sedikit dan infrastrukturnya belum lengkap.

“Hal ini membuat banyak perusahaan keuangan enggan memberikan pinjaman untuk mobil listrik atau menawarkan uang muka (DP) yang lebih tinggi dibandingkan mobil konvensional,” ujarnya di acara yang sama.

Menurutnya, risiko bisnis terburuk bagi perusahaan keuangan adalah pembayaran yang tidak teratur atau tidak terbayar. Berikutnya dalam menjual kembali, hal yang perlu diperhatikan adalah berapa harga jual yang tepat dan ada atau tidaknya pembeli.

Penting bagi industri mobil listrik untuk membangun lingkungan dari hulu hingga hilir agar penjualan ke masyarakat meningkat, pungkas Suwandi.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA channel