Bisnis.com, JAKARTA — Lembaga Kajian dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menilai Indonesia harus mengembangkan regulasi penggunaan kecerdasan buatan atau kecerdasan buatan (AI).

Selain itu, studi Elsam dan Income Partnership (2023) menunjukkan bahwa penggunaan kecerdasan buatan (AI) di Indonesia akan membuka potensi manufaktur sebesar USD 243,5 miliar atau 18% PDB pada tahun 2022.

Direktur Eksekutif Elsam Wahyudi Djafar mengatakan perlunya strategi kecerdasan buatan sejalan dengan resolusi Majelis Umum PBB tentang pemanfaatan kemampuan sistem kecerdasan buatan yang aman, terjamin, dan andal untuk pembangunan berkelanjutan, yang diadopsi pada 21 Maret 2024.

Keputusan ini merupakan keputusan penting yang mengakui pentingnya pengembangan kecerdasan buatan yang aman, terjamin, dan andal, kata Vahyudi dalam keterangan tertulisnya, Kamis (30/4/2024).

Resolusi ini menekankan bahwa negara-negara anggota PBB mengembangkan dan mendukung kebijakan dan pendekatan serta prosedur manajemen terkait keselamatan, keamanan, dan keandalan sistem kecerdasan buatan.

Vahyudi mengatakan negara-negara di dunia bereaksi berbeda dalam pengembangan manajemen kecerdasan buatan. Misalnya saja di Amerika Serikat, pada Oktober 2023 telah diterbitkan Perintah Eksekutif tentang Pemajuan Keselamatan, Keamanan, dan Kepercayaan serta Penggunaan Kecerdasan Buatan yang setara dengan Perintah Eksekutif (Perpres).

Pada 8 Desember 2023, Parlemen Uni Eropa juga menyetujui UU AI. Kerangka kerja ini menekankan pendekatan berbasis risiko dalam mengelola AI, membagi AI menjadi risiko yang tidak dapat diterima, risiko tinggi, risiko terbatas, dan risiko rendah.

Menariknya, pendekatan legislatif seperti Uni Eropa akan segera diikuti oleh Korea Selatan, Jepang dan Taiwan di Asia.

Sementara itu, di tingkat global, pada pertemuan Hiroshima (Mei 2023), para pemimpin G7 juga menyerukan pengembangan dan penerapan standar teknis untuk kecerdasan buatan yang dapat dipercaya, yang diluncurkan sebagai dokumen resmi pada bulan Oktober. 30 Agustus 2023.

Selain itu, negara-negara ASEAN menyetujui Petunjuk ASEAN tentang Tata Kelola dan Etika AI pada bulan Februari 2024. Kami berharap proses ini dapat menjadi acuan dalam pengembangan sistem AI yang bertanggung jawab, termasuk model tata kelola, untuk negara-negara ASEAN.

Wahyudi menjelaskan model tata kelola AI sendiri dapat memanfaatkan berbagai pendekatan metodologis, termasuk teknologi, etika, dan hukum.

Sedangkan Indonesia khusus melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menerbitkan Terjemahan (SE) Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 33. 9/2023 tentang Etika Kecerdasan Buatan.

Namun mengingat besarnya dampak penggunaan teknologi AI dalam perkembangannya, penting bagi Indonesia untuk mulai mengembangkan prosedur tata kelola AI yang lebih mengikat secara hukum, tidak hanya menggunakan etika saja, ujarnya.

Menurut dia, renstra yang dijelaskan dalam SE Menkominfo harus dimaknai sebagai tahap awal pengembangan dan pembenahan rezim AI, yang baru kemudian direncanakan akan dibuat renstra. Hal ini ditegaskan dalam resolusi PBB.

“Menyelesaikan proses ini akan menjadi langkah penting dalam menentukan model proses yang tepat untuk teknologi ini,” ujarnya.

Untuk itu, menurutnya, dalam jangka pendek, membuat peraturan di tingkat menteri seperti Peraturan Menteri, dan dalam jangka menengah, membuat peraturan di tingkat yang lebih tinggi seperti Peraturan Presiden, bisa menjadi pilihan. atau besar. Undang-undang tentang AI.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel