Bisis.com, JAKARTA – Saat ini pemerintah sedang menyusun rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Dalam dokumen pokok kebijakan keuangan Proyek Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 terungkap bahwa pemerintah akan terus menerapkan kebijakan ekspansi moneter.

Hal ini terlihat pada konfigurasi sisi konsumsi dan penerimaan. Dalam anggarannya, pemerintah menargetkan peningkatan rasio belanja pemerintah terhadap pendapatan nasional (PDB) dari 14,59% menjadi 15%. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan perkiraan konsumsi aktual tahun ini yang diperkirakan mencapai 14%.

Di sisi lain, rasio pendapatan terhadap PDB pada tahun depan diperkirakan mencapai 12,30% hingga 12,34%. Angka tersebut meningkat dibandingkan keberhasilan yang diprediksi dalam laporan pendapatan pemerintah tahun ini yang ‘hanya’ mencapai 12,27% PDB Nasional.

Pemerintah mengambil rencana kebijakan moneter ekspansif di tengah upaya penerapan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1% hingga 5,5%. Sebagaimana kita ketahui, kebijakan ekspansi moneter merupakan salah satu pilihan kebijakan dari sisi keuangan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Secara teori, kebijakan moneter ekspansif biasanya dilakukan dengan meningkatkan anggaran pemerintah dan menurunkan tarif pajak, terutama ketika perekonomian sedang menghadapi penurunan daya beli dan tingginya tingkat pengangguran.

Menariknya, dari sisi pendapatan, APBN 2025 belum sepenuhnya menerapkan basis kebijakan fiskal ekspansif. Meskipun Pemerintah akan terus memberikan insentif pengurangan pajak, terutama untuk mendorong investasi dan penciptaan lapangan kerja, pada saat yang sama pemerintah juga berencana melakukan ekspansi pajak, termasuk penerapan tarif pajak baru dan perluasan produk kena pajak.

Untuk tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang baru, pemerintah berencana menggunakan tarif sebesar 12%. Namun, jika penerapan pajak tidak dilakukan dengan cepat, terdapat risiko kebijakan tersebut tidak efektif dalam upaya menstimulasi perekonomian.

Meskipun pendapatan berpotensi meningkat, pajak yang lebih tinggi dapat menyebabkan peningkatan biaya produksi bagi perusahaan, yang pada akhirnya dapat menurunkan profitabilitas dan persaingan. Dampak ini dapat menyebabkan penurunan investasi dan konsumsi, terutama di kalangan masyarakat berpendapatan rendah dan menengah yang lebih rentan terhadap perubahan harga.

Selain itu, tanda-tanda penurunan daya beli masyarakat juga terlihat pada semester pertama tahun ini, dimana angka pada triwulan II menunjukkan penurunan pertumbuhan indeks penjualan riil dan penurunan pertumbuhan tahunan DPK perbankan. , yang menunjukkan bahwa masyarakat mulai menggunakan tabungan untuk memenuhi kebutuhannya. HATI-HATI

Di sisi lain, pemerintah perlu berhati-hati dalam menerapkan kebijakan ekspansi pajak baru. Penting untuk memastikan bahwa barang atau jasa memberikan eksternalitas negatif sebelum dikenakan pajak.

Jangan sampai kebijakan perluasan tarif diterapkan pada produk tertentu tanpa memahami akar permasalahannya. Jika tidak, kebijakan tersebut mungkin merugikan sektor atau pemangku kepentingan.

Dari sisi belanja, perluasan uang perlu dilakukan dengan evaluasi secara berkala, terutama terhadap program-program baru yang dilaksanakan oleh pemerintah terpilih. Evaluasi yang sistematis membantu mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan program, sehingga memungkinkan pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya yang baik (Puaschunder, 2021).

Lebih khusus lagi, untuk program pangan bergizi gratis, evaluasi dapat mengungkap kesenjangan akses dan pemanfaatan di antara berbagai kelompok masyarakat, yang penting untuk menyesuaikan intervensi dengan kebutuhan masyarakat (Jessiman et al., 2023).

Terakhir, pada APBN 2025, pemerintah perlu memperkuat kebijakan belanja sukarela untuk keperluan stimulus. Saat ini pemerintah memiliki kebijakan sementara untuk tabungan sukarela melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 62 Tahun 2023 tentang penyesuaian otomatis. Namun penyesuaian anggaran otomatis juga perlu diarahkan pada pemberian stimulus perekonomian.

Oleh karena itu, dalam kondisi tertentu, APBN bisa langsung ditutup dalam pemberian stimulus yang diperlukan untuk menjaga perekonomian. Beberapa kondisi yang dimaksud antara lain tercapainya defisit anggaran dan indikator-indikator yang menggambarkan keadaan perekonomian riil.

Selain itu, dokumen kebijakan fiskal tahun 2025 memuat rencana pemerintah untuk mendorong sistem perlindungan sosial yang fleksibel untuk mengantisipasi risiko krisis. Dokumen ini dapat digunakan sebagai panduan awal bagi pemerintah dalam melaksanakan kebijakan stimulus penyesuaian otomatis.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan Channel WA