Bisnis.com, Singapura – Belum banyak perusahaan dan organisasi di Asia Tenggara (ASEAN) yang memiliki rencana jelas untuk menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI). Meski begitu, mereka bersedia mengadopsi.​

Sebuah studi baru bertajuk “AI Readiness Barometer: AI Landscape ASEAN” yang dilakukan oleh Ecosystem atas nama IBM menemukan bahwa hingga 85% organisasi di ASEAN percaya bahwa AI dapat membantu mencapai tujuan strategis. Namun, hanya sekitar 17% perusahaan yang memiliki strategi jelas dalam mengadopsi teknologi AI.​

Penelitian tersebut juga mengungkap kesenjangan antara optimisme perusahaan terhadap kesiapannya menggunakan kecerdasan buatan dengan kenyataan yang ada. Misalnya, 16% organisasi terkemuka mengatakan bahwa mereka berada pada puncak kesiapan AI (AI Kategori 1). Namun, berdasarkan data dan penilaian ekosistem di lapangan, hanya 1% organisasi yang masuk dalam kategori ini.​

Demikian pula, 39% organisasi yakin bahwa mereka berada pada tahap transformasi kesiapan AI, namun hanya 4% yang benar-benar memenuhi persyaratan.​

Catherine Lian, General Manager IBM ASEAN, mengatakan perjalanan AI – proses mulai menerapkan scaling – telah membawa banyak manfaat bagi perusahaan. Hal ini termasuk mempercepat inovasi dan produktivitas serta meningkatkan pengalaman konsumen.​

Namun ia juga sependapat bahwa banyak pemimpin teknologi dan bisnis yang melebih-lebihkan kemampuan mereka dalam menerapkan kecerdasan buatan dengan cara yang baik dan tepat. Ia mengatakan persiapan adopsi kecerdasan buatan memerlukan kepemimpinan yang kuat, strategi data yang kuat, talenta yang tepat, dan kerangka tata kelola yang matang.​​

Tujuan-tujuan ini dirancang untuk memastikan bahwa kecerdasan buatan digunakan secara bertanggung jawab dan etis serta mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.​

“Tanpa landasan yang kuat, organisasi dapat mengambil risiko implementasi dengan hanya berfokus pada opsi teknis dan mengabaikan dampak bisnis jangka panjang,” ujarnya pada media briefing IBM Think 2024 Singapura di Sand Expo and Convention Center Singapura, Rabu (14 /08/2024).​

CEO Ecosystm Ullrich Loeffler menambahkan bahwa jalan menuju adopsi dan optimalisasi AI dimulai dengan mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan organisasi serta potensi hambatan terhadap integrasi AI yang lancar.​

Ia percaya bahwa kecerdasan buatan bukanlah solusi konseptual plug-and-play dan bahwa satu model dapat diterapkan untuk berbagai situasi atau kebutuhan perusahaan yang berbeda. Pada kenyataannya, implementasinya jauh lebih kompleks tergantung pada masing-masing kasus penggunaan.​​

“Kita perlu mencari tahu apa masalahnya dan apa yang ingin kita selesaikan sebelum kita melihat bagaimana mencapainya dengan bantuan kecerdasan buatan,” tambahnya.

Sama pentingnya untuk mencapai tujuan ini adalah menemukan mitra teknologi dan memilih alat yang tepat, kata Loeffler. Dengan cara ini, perusahaan atau organisasi dapat mengoptimalkan alur kerja kecerdasan buatan melalui desain ulang proses.​

Dalam konteks ini, organisasi harus melakukan komunikasi yang terbuka dan harmonis dengan mitra serta manajemen perubahan internal untuk menyesuaikan proses dan budaya terhadap adopsi AI, lanjutnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel