Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkap penyebab utama perlambatan industri manufaktur dalam beberapa bulan terakhir, mulai dari daya beli yang lemah, suku bunga yang tinggi, hingga kebijakan impor. 

CEO Apindo Shinta W. Kamdani mengatakan, setidaknya ada lima faktor yang memicu PMI atau PMI manufaktur turun menjadi 49,3 pada Juli lalu setelah 34 bulan stabil ekspansi.

Pertama, dampak lemahnya selera konsumen dan daya beli dalam negeri akibat ketidakpastian transisi politik, sehingga berdampak pada potensi lapangan kerja dan pertumbuhan pendapatan masyarakat. Hal ini terjadi di semua tahun politik, setidaknya di setiap tahun pemilu sejak era pemilu. pembaruan”. kata Shinta kepada Bisnis, Selasa (13/8/2024). 

Kedua, ia juga menilai tren penurunan produktivitas manufaktur seperti terlihat pada PMI dan Industrial Confidence Index (ICI) dipengaruhi oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi global sehingga permintaan ekspor kurang baik. pertumbuhan ekonomi terhenti. 

Ketiga, sektor manufaktur Indonesia masih belum memiliki rantai nilai global (GVC) yang kuat karena lemahnya ekosistem yang mendukung pertumbuhan ekspor manufaktur dan terbatasnya akses istimewa terhadap pasar di negara tujuan ekspor alternatif. 

“Misalnya di pasar Uni Eropa, kita bersaing dengan ekspor Vietnam yang didukung oleh EVFTA,” ujarnya. 

Keempat, dampak tingginya suku bunga turut menurunkan minat masyarakat kelas menengah atas dan pelaku usaha atau investor untuk mengonsumsi barang tahan lama, terutama ketika persepsi ketidakpastian relatif tinggi. 

Shinta juga mengatakan laju konsumsi dan kebijakan subsidi turut berdampak. Menurut dia, subsidi pangan berperan penting dalam menjaga daya beli dan hasil produksi pada kuartal I-II 2024. 

“Sehingga konsumsi produk nasional semakin tinggi, apalagi terjadi peningkatan konsumsi yang besar seperti Ramadhan-Idul Fitri,” ujarnya. 

Namun, Shinta menyayangkan tidak lagi merasakan manfaat subsidi pangan Indonesia yang berakhir pada kuartal ketiga. Tak hanya itu, pada periode tersebut belum terjadi lonjakan konsumsi besar-besaran yang mampu meningkatkan selera konsumen. 

“Sebenarnya ada kecenderungan belanja tahun ajaran baru terkonsentrasi pada sektor pendidikan, multiplier effect terhadap permintaan industri manufaktur tidak signifikan,” jelasnya. 

Terakhir, ia menyoroti dampak kebijakan impor dalam negeri yang kurang tepat sasaran. Hal ini disebabkan oleh permasalahan impor ilegal, barang-barang yang beredar di pasaran tidak sesuai standar, serta kebijakan dan praktik impor yang ketat dan tidak sesuai peruntukan. 

Kondisi ini justru menyulitkan perusahaan-perusahaan di sektor manufaktur untuk memproduksi barang secara efisien di dalam negeri, dan pembelian bahan baku/alat bantu produksi menjadi lebih mahal atau hampir mustahil. 

“Secara keseluruhan, kompleksitas kebijakan dan praktik impor memberikan beban tambahan pada kinerja manufaktur negara, seperti yang terlihat pada PMI,” ujarnya. 

Diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyinggung kondisi produktivitas manufaktur Tanah Air yang melambat dalam beberapa bulan terakhir.

Hal ini tercermin dari PMI manufaktur Indonesia yang sebesar 49,3 pada Juli 2024. Bahkan, PMI manufaktur Indonesia berhasil bertahan pada atau di atas indeks 50 selama 34 bulan berturut-turut.

Jokowi pun meminta untuk mewaspadai situasi tersebut, mengingat kontraksi juga terjadi di negara-negara Asia lainnya.

“Hal ini harus diwaspadai karena banyak negara Asia yang PMI-nya di bawah 50, yaitu Jepang 49,2 Indonesia 49,3 China 49,8 Malaysia 49,7,” kata Jokowi saat memperkenalkan IKN, Senin (12/). 8/2024).

Sementara itu, Jokowi menjelaskan penurunan terbesar terjadi pada sektor manufaktur yaitu -2,6 dan pesanan baru atau new order -1,7 dan lapangan kerja -1,4. 

“Saya sangat ingin mengetahui akar permasalahannya dan segera melakukan antisipasi karena saya melihat PMI sudah turun selama 4 bulan terakhir,” ujarnya.

Menurut dia, beberapa potensi faktor pelemahan industri manufaktur adalah lambatnya permintaan dalam negeri. Pasalnya, beban impor komoditas tersebut mulai meningkat seiring dengan fluktuasi nilai tukar rupee. 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel