Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai turunnya level Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Juli 2024 ke zona kontraksi 49,3 bukanlah suatu kondisi yang aneh.
Dalam laporan global S&P, PMI manufaktur Indonesia turun signifikan dibandingkan bulan sebelumnya yang berada di angka 50,7. Posisi tersebut merupakan kontraksi pertama sejak Agustus 2021.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasmita mengatakan kontraksi PMI manufaktur pada bulan Juli merupakan kondisi yang diprediksi sejak penerapan aturan relaksasi impor yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 8/2024 Mei lalu.
“Kami tidak kaget dan logis melihat hasil survei ini karena semua sudah diprediksi ketika kebijakan relaksasi impor diterbitkan,” kata Agus dalam keterangan tertulisnya, Kamis (1/8/2024).
Agus menjelaskan, kontraksi PMI manufaktur Indonesia dipengaruhi oleh penurunan produksi dan pesanan baru secara simultan. Selanjutnya permintaan pasar turun sehingga penjualan menurun.
Untuk itu, ia juga mendorong sinergi dengan kebijakan pemerintah untuk mendukung kinerja sektor manufaktur. Ekspansi PMI manufaktur mungkin akan bangkit kembali jika pemerintah menerapkan kembali kebijakan yang pro-industri.
“Posisi sektor manufaktur sudah sangat sulit karena kondisi global, termasuk logistik, sangat tidak menguntungkan bagi sektor tersebut. Oleh karena itu, para menteri tidak boleh mengeluarkan kebijakan yang semakin mematikan industri tersebut,” ujarnya.
Tren penurunan PMI produksi terus berlanjut sejak Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Ketentuan Impor pada Mei 2024.
Kemudian PMI manufaktur Mei-Juli 2024 terus mengalami penurunan dibandingkan PMI manufaktur April 2024 (sebelum penerapan relaksasi impor).
Pada April 2024, PMI manufaktur mencapai 52,9, lalu turun menjadi 52,1 pada Mei 2024, lalu menjadi 50,7 pada Juni 2024, dan 49,3 pada Juli 2024.
Dalam hal ini, hasil survei PMI manufaktur Juli 2024 dinilai mampu membuka mata para menteri dan pemangku kepentingan akan perlunya harmonisasi langkah dan pandangan dalam mengembangkan industri dalam negeri.
“Kementerian Perindustrian tidak bisa sendirian dalam hal ini. Menjaga kinerja sektor manufaktur tidak hanya untuk memastikan nilai tambah terus dihasilkan di dalam negeri, tetapi juga untuk melindungi ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia, ujarnya. Dikatakan.
Sementara itu, kondisi PMI manufaktur Juli 2024 juga tercermin dari hasil survei Indeks Keyakinan Industri (IKI) Juli 2024 yang dirilis Kamis (31/7) lalu. IKI Juli 2024 turun menjadi 52,4 dari IKI Juni 2024 sebesar 52,5.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif mengatakan, faktor yang menghambat laju ekspansi IKI adalah melemahnya nilai tukar dan penerapan kebijakan relaksasi impor.
“Setelah dikeluarkannya kurang lebih 26.000 kontainer dari bea cukai oleh Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan tanpa pertimbangan teknis dari kementerian teknis terkait,” kata Febri.
Kebijakan lalu lintas yang tidak tegas akan mengakibatkan membanjirnya produk impor sehingga menurunkan daya saing pelaku usaha dalam negeri, dan tentunya pada akhirnya menurunkan penyerapan tenaga kerja dalam negeri.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel