Bisnis.com, JAKARTA – Penerapan larangan penjualan eceran rokok dinilai merupakan kesalahan pemerintah. Alih-alih menurunkan prevalensi konsumsi rokok, larangan tersebut justru akan menambah kontroversi bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.

Sementara kebijakan terkait pengetatan produk tembakau, termasuk rokok elektronik, tertuang dalam aturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) No.28/2024 tentang Undang-Undang No.17/2023 tentang Kesehatan.

Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah mengatakan, pengesahan aturan ini sama saja dengan mematikan industri tembakau (IHT), pengecer, dan petani tembakau.

Saya melihat industri rokok akan mati, padahal industri rokok berkontribusi dengan pajak dan cukai yang tinggi, sedangkan Pak Jokowi lebih perhatian pada industri farmasi, kata Trubus saat dihubungi, Selasa (30/7/2024).

Menurutnya, pemerintah tidak hanya sekedar melarang, tapi juga memberikan solusi dan mengantisipasi dampak kebijakan tersebut terhadap industri. Selain itu, ada 6,1 juta orang yang nasibnya bergantung pada industri ini.

Ia juga menilai tidak ada relevansi antara konsumsi rokok dan penjualan di tingkat ritel. Larangan penjualan rokok eceran justru akan mematikan pedagang kecil yang sebagian besar mencari nafkah dari penjualan tersebut.

“Kalau ritel diatur, apa yang akan dilakukannya? Tidak ada urgensinya, yang diatur hanya industrinya saja. Lalu kenapa mau turun ke level paling bawah (retail) lalu keluar rokok selundupan,” dia dikatakan. . .

Di sisi lain, kebijakan ini juga disebut-sebut akan berdampak pada penyempitan lapangan kerja dan peningkatan angka pengangguran. Pemerintah juga terancam kehilangan sumber pendapatan dari industri tembakau.

Trubus berpendapat, pasal-pasal terkait tembakau harus dipisahkan dari kebijakan kesehatan. Sebab, produk turunan tembakau sudah lama dan cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012.

“Saya melihat ini cara untuk membantai mereka [pekerja dan petani tembakau]. Daripada memberikan pelatihan, tapi bukannya memusnahkan mereka, pemerintah juga harus memberikan solusi,” ujarnya.

Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan mengatakan IHT banyak menghadapi tekanan regulasi hingga mencapai 446 regulasi pengendalian tembakau.

Sementara itu, sebanyak 400 peraturan atau 89,68% berupa pengamanan, 41 peraturan atau 91,9% berupa cukai hasil tembakau, dan hanya 5 peraturan atau 1,12% peraturan yang mengatur perekonomian dan kesejahteraan.

“Kami mengusulkan agar tidak dilakukan perubahan regulasi di industri hasil tembakau yang berpotensi semakin membebani kelangsungan usaha IHT nasional,” kata Henry, beberapa waktu lalu.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel