Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan merekomendasikan penggunaan beras analog sagu menjadi salah satu bahan pangan utama dalam program makan siang gratis yang dicanangkan Presiden terpilih Prabowo Subianto.

Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan analogi beras sagu merupakan salah satu cara untuk membedakan produk dari segi ketahanan pangan, dan juga dapat mendukung ketahanan energi.

Agus mengatakan saat ditemui di Kantor Kementerian Perindustrian, Senin (29/7/2024): “Kami pasti tidak akan meminta karena itu juga bisa mendukung ketahanan pangan dengan menjadikan sagu sebagai sumber utama atau pangan selain beras” .

Menurut laporan Kelompok Penelitian Pengembangan Pertanian dan Industri, Tepung Sagu Pragel dapat digunakan sebagai bahan baku produksi butiran beras sagu, sehingga diharapkan dapat mengurangi impor beras, sekaligus meningkatkan penggunaan sumber daya alam.

Sedangkan beras ini terbuat dari bahan lokal seperti sagu dan beras merah sehingga aman, serta memiliki manfaat bagi kesehatan seperti indeks glikemik yang rendah.

Proses produksi beras sagu instan dilakukan dengan cara fisik tanpa menggunakan bahan kimia sehingga efisien dan mudah dalam pengelolaannya.

Sebelumnya, tepung sagu populer sebagai bahan pembuatan papedo. Namun saat ini industri pengolahan sagu sudah mulai berkembang menjadi produk modern seperti bihun dan sejenisnya.

“Yang juga akan kami minta, sekarang ditata secara agro, sehingga sagu tidak hanya bisa menunjang pangan, tapi juga bisa mendukung ketahanan energi,” ujarnya.

Agus menjelaskan tepung sagu juga dapat mendukung pengembangan industri bioenergi melalui proses pemisahan. Hal ini juga dapat mendukung transisi pemerintah menuju zero.

Produk tepung yang kaya akan pati dikatakan cocok digunakan sebagai substrat pada industri fermentasi seperti MSG dan bioetanol, airnya lebih mudah digunakan dibandingkan air untuk industri yang menggunakan molasses sebagai bahan bakunya.

“Jadi sagu bisa diubah menjadi bioetanol. Saya sudah hitung tapi ingin menjelaskan secara detail. Kalau 2,5 hektare sagu bisa menghasilkan 250 kiloliter bioetanol,” ujarnya.

Di lahan yang potensial seluas 5,5 juta hektare, Agus yakin bisa mengembangkan pangan dan energi. Nilai ekonomi sagu bisa semakin meningkat.

“Saya kira masuk akal dan prototipe produksi bioetanol sudah ada. Artinya di bidang penerbangan sudah ada. Intelegensi lokal itu sangat kuat karena di dunia belum ada kekuatan panah seperti Indonesia,” tutupnya. 

Lihat berita dan artikel lainnya di Google Berita dan Jaringan WA