Bisnis.com, Jakarta – Pemerintah menunggu keputusan menteri keuangan di G20 tentang tarif pajak 2% bagi orang super kaya atau miliarder, kata Departemen Perekonomian. 

Sekretaris Kementerian Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan pemerintah akan memantau dampak kebijakan tersebut terhadap Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Khususnya, Indonesia sedang dalam proses menjadi anggota organisasi ini.  

“Saya belum pernah mendengar hal ini [penegakan]. “Tetapi untuk mempengaruhi pertemuan norma khususnya di OECD, kami akan terus mengikuti karena di kelompok nasional kebijakan fiskal OECD, koordinatornya adalah Menteri Keuangan [Pak Mulyani],” ujarnya. Kantor Kementerian Perekonomian, Kamis (25/7/2024). 

Susi pun mengaku belum ada arahan terkait hal tersebut dari pemimpin negara, Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Pertemuan ketiga Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (FMCBG) di bawah Presidensi G-20 Brazil berlanjut hari ini di kota Rio de Janeiro. 

Menteri Keuangan (MENKU) Shri Mulyani Indrawati telah berangkat ke Brazil untuk melakukan pertemuan mulai Minggu (23/7/2024). 

Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Pratama-Creston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mencatat, kelompok FMCBG G20 berencana menerapkan pajak minimum dunia terhadap 3.000 miliar (orang terkaya di dunia).

Tujuannya adalah untuk mengakhiri persaingan pajak global yang ketat saat ini.

“Persaingan ke bawah memungkinkan negara-negara berkembang untuk mencoba menurunkan tarif OP PPh. Tujuan utamanya adalah menarik uang asing dari kalangan yang sangat kaya,” ujarnya, Rabu (24/7/2024). 

Terakhir, Prianto menjelaskan persaingan pajak melalui race to the bottom berarti negara-negara yang menerapkan race to the bottom akan menghadapi permasalahan keberlanjutan di masa depan. 

Dari sudut pandang wajib pajak, kelompok super kaya atau HWI (High Net Worth Individuals) mungkin membayar pajak lebih sedikit dibandingkan masyarakat lainnya karena praktik penghindaran pajak. Hal ini menyebabkan kesalahan (lapangan bermain tidak seimbang).

“Potensi penerimaan pajak [dari HWI] tidak penting karena fokusnya bukan pada pendapatan berbasis laba. Tapi fokusnya pada prinsip pemerataan.  

Dengan kata lain, 3.000 miliar bukanlah uang yang banyak di dunia, namun diperlukan bagi masyarakat. 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel