Bisnis.com, Jakarta – Pelaku asuransi menyoroti penetapan tarif batas atas rumah sakit terkait kerja sama BPGS Kesehatan dengan perusahaan asuransi swasta sebagai asuransi pelengkap pengobatan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). 

Dengan tambahan asuransi, peserta JKN akan dapat meningkatkan atau memperluas layanan di atas tingkat atau hak yang diterimanya. Hal itu berdasarkan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan (Prepress) Nomor 59 Tahun 2024.

Pasal 51 ayat (1) menyatakan bahwa peserta dapat memperpanjang pengobatan melebihi haknya dengan mengambil asuransi kesehatan tambahan, termasuk rawat jalan eksekutif. 

Peserta dapat meningkatkan pelayanan dengan membayar selisih antara biaya jaminan BPJS kesehatan dengan biaya yang dibayarkan akibat peningkatan pelayanan. Selain asuransi tambahan, selisih biaya sebenarnya dapat ditanggung oleh pemilik dan peserta masing-masing. 

PT Asuransi Allianz Life Indonesia (Allianz Life) memperkirakan penerapan tarif maksimal akan meningkatkan kontribusi manfaat asuransi kesehatan dari sisi klaim.

Meski demikian, Steve Sotanto, Head of Cost Containment, TPA Management dan Network Provider Allianz Life Indonesia, mengatakan pihaknya masih memantau perkembangan proses usulan tarif batas atas. 

“Pada saat yang sama, kami sedang berkoordinasi secara internal, sehingga ketika aturannya sudah ada, kami siap menerapkannya,” kata Steve kepada Bisnis, Kamis (25/7/2024). 

Allianz Life merupakan salah satu perusahaan asuransi swasta yang masih melakukan koordinasi manfaat dengan Coordinate of Benefits (CoB) atau BPJS Kesehatan.

Menurutnya, kerja sama ini masih terus berjalan dengan beberapa grup rumah sakit yang telah sepakat untuk memberikan layanan COB bagi tambahan pelanggan asuransi kesehatan yang juga memiliki BPJS kesehatan. 

“Aliens selalu berupaya memastikan pelanggan kami mendapatkan solusi dan layanan terbaik yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing,” ujarnya. 

Steve menjelaskan, layanan CoB saat ini melayani pasien BPJS kesehatan yang juga memiliki asuransi kesehatan dari Allianz di jaringan rumah sakit mitra.

Pasien BPJS Kesehatan yang memiliki asuransi kesehatan tambahan dari Allianz tidak perlu membayar selisih biaya peningkatan kelas perawatan di rumah sakit yang diminta. 

“Selisih biaya akan ditagihkan langsung oleh pihak rumah sakit ke Allianz [untuk fasilitas cashless], dengan syarat dan ketentuan serta batasan jaminan polis,” kata Steve. 

Steve berharap regulasi dan skema yang diterapkan ke depan melalui kerja sama manfaat BPJS kesehatan dan asuransi swasta dapat memberikan manfaat bagi semua pihak baik nasabah/pasien, rumah sakit, BPJS kesehatan, dan perusahaan asuransi tambahan.

Maklum, aturan terkait asuransi tambahan kembali dibahas, di tengah pemberlakuan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) tahun depan. 

“Kolaborasi ini dapat memberikan nilai tambah bagi nasabah Asuransi Kesehatan Allianz yang menggunakan layanan BPJS kesehatan. Hal ini sejalan dengan komitmen Allianz Indonesia untuk memberikan perlindungan asuransi kesehatan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia,” ujarnya.

 Di sisi lain, perusahaan asuransi umum PT Assuransi Sinar Mas (ASM) menilai BPJS dapat mencegah perlakuan berlebihan yang dilakukan rumah sakit dengan tambahan asuransi dengan menetapkan harga maksimal untuk layanan kesehatan. 

“Kami akan sangat senang jika Kementerian Kesehatan mau membuat regulasi bagi rumah sakit agar rumah sakit mendapatkan harga yang adil. “Misal kita ke Singapura, kalau berobat, kita sudah tahu di layar ini berapa, maksimal konsultasinya berapa, biayanya berapa ya,” Direktur Sinar Mass Insurance Domasi Marisina m. Samoser saat ditemui beberapa waktu lalu di Plaza Sims, Jakarta Pusat. 

Dumasi menambahkan, idealnya jika naik ke kelas VIP, hanya biaya kamar dan layanan saja yang naik. Sementara fasilitas kesehatan termasuk obat-obatan belum mengalami peningkatan.

Oleh karena itu, pihaknya mendukung pemerintah menetapkan batas atas maksimal dukungan dukungan BPJS kesehatan dengan tambahan asuransi pasca komitmen KRIS.  

Pihaknya tetap mendukung BPJS Kesehatan sebagai pembayar utama atau pembeli pertama dalam skema koperasi ini. 

“Kalau aturannya ada, INA-CBG punya standarnya, minimal rumah sakit mengikutinya. Kita ada fee for service, artinya kalau kita ke rumah sakit, kita harus membayar sejumlah yang diberikan pihak rumah sakit. “Dan rumah sakit akan menghabiskan banyak uang untuk biaya pengobatan, dan ini merupakan hal yang kami khawatirkan,” kata Dumasi. 

Tidak lebih baik karena adanya kerjasama BPJS-RS swasta 

Pertama, Ketua Dewan Pengawas (Diwas) BPGS Kesehatan Abdul Qadir mencermati empat hal yang kurang mendukung kerja sama antara BPGS Kesehatan dan Asuransi.

Pertama, masih belum adanya peraturan teknis untuk melaksanakan kebijakan koordinasi antara Penyedia Asuransi (KAPJ) dan Asuransi Kesehatan Tambahan (AKT). Kedua, lanjutnya, masih belum ada skema cost sharing antara AKT dan BPJS Kesehatan. 

Kedua, skema penjaminan masih menjadi tantangan karena perbedaan skema penjaminan, AKT lebih banyak menggunakan skema indemnity, sedangkan BPJS Kesehatan menggunakan skema Managed Care. 

Terakhir, masih belum ada kebijakan model tarif kerjasama antara BPJS kesehatan dan asuransi swasta. Pihaknya juga meminta Kementerian Kesehatan (Kimniks) menerapkan tarif maksimal di rumah sakit. 

Menurut Abdul, penetapan tarif tersebut untuk menghindari kecurangan dalam proses KAPJ dengan AKT. 

“Kami berharap Kementerian Kesehatan menetapkan standar harga maksimal untuk setiap rumah sakit karena jika tidak dilakukan, bisa saja terjadi penipuan di rumah sakit jika harga tersebut tidak ditetapkan,” Abdul Komisi IX DPRR (RDP) pada Kamis (6 /6/2025).

Abdul mengatakan, pihaknya juga merekomendasikan agar BPGS Kesehatan bersama pemangku kepentingan terkait menyusun ketentuan terkait interoperabilitas dan keterbukaan data pembayaran dengan sistem bilingual antara perusahaan asuransi swasta dan BPGS Kesehatan. 

Selain itu, sosialisasi dan kerja asrama bagi asuransi swasta dengan BPJS kesehatan untuk melengkapi sistem pemantauan yang efektif untuk mengurangi kejadian out-of-pocket double klaim dan kemungkinan penipuan.

Terakhir, membentuk kelompok kerja (POCJA) di antara para pemangku kepentingan terkait untuk memberikan saran konstruktif guna mempercepat implementasi peraturan tertentu.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel