Bisnis.com, JAKARTA – Utang banyak bank yang bernilai negatif atau valuta asing (valas). Hal inilah yang menjadi salah satu alasan Bank Indonesia menurunkan suku bunga RPLN mulai awal bulan depan.

Dengan kenaikan suku bunga menjadi 6,25%, BI berupaya mempertahankan jumlah bank yang cukup. Salah satunya adalah ketentuan Kebijakan Pencucian Uang (KLM).

KLM ini diberikan kepada bank-bank yang mendukung sektor primer seperti mineral dan non-mineral, real estate, pariwisata, otomotif, perdagangan, ketenagalistrikan, gas, dan jasa keuangan.

Selain itu, memberikan pembiayaan makroprudensial yang inklusif bagi bank dengan komitmen pinjaman di atas 30%, seperti ultra microfinance (UMi) dan usaha kecil. BI juga memberikan subsidi berupa green deposit sebesar 0,5%.

Seluruh pembiayaan diberikan dengan mengurangi kewajiban menyetor uang pada Bank Indonesia. Bank dapat menggunakan kesempatan ini untuk membiayai real estat. Menurut bank sentral, pada Juni 2024, nilai uang yang dikembalikan bank adalah Rp 256 juta.

BI juga akan mengakuisisi KLM di anak perusahaan tersebut mulai awal Agustus 2024. Total asuransi yang dikembalikan bank tersebut adalah 280 juta rupiah dengan perpanjangannya.

Salah satu penyebab terjadinya ekspansi moneter adalah adanya kekosongan politik. Nugroho Joko Prastowo, Kepala Kebijakan Makroprudensial BI, mengatakan dalam sebuah wawancara: “Sejauh ini, kebijakan makroprudensial pada proyek pengelolaan penanaman modal asing, termasuk utang luar negeri [ULN], masih lemah.” .

Permasalahan lain yang dilihat BI adalah sistem manajemen risiko yang tidak terintegrasi, banyak bank yang terpapar utang luar negeri jangka pendek. “Banyak bank yang memiliki KCLN [cabang luar negeri] dan dana kredit luar negeri yang besar memiliki ULN jangka pendek hingga 30%,” jelasnya.

Dalam Bisnis, Joko mengatakan utang luar negeri perbankan sekitar 30% dari kewajibannya, tapi butuh dukungan mata uang, mereka masih punya waktu. Hal ini disebabkan karena kewajiban cabang luar negeri yang diperoleh dan berlokasi di luar negeri tidak termasuk dalam perhitungan rasio ini.

“Saat itu akan ada putaran penambahan atau pengurangan 5% tergantung situasi. Artinya, tarifnya bisa diturunkan menjadi 25% atau dinaikkan menjadi 35% tergantung hasil penilaian. “Sekarang dia akan tinggal. sebesar 30%,” ujarnya.

Saat ditanya berapa bank yang mendekati utang 30%, dia menjawab tidak banyak. “Tidak banyak bank yang punya KCLN, hanya bank-bank besar saja,” ujarnya.

Banyak bank yang memiliki cabang di luar negeri adalah milik negara, seperti PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.

Berdasarkan data Bank Indonesia, pada Mei 2024, utang luar negeri jangka pendek sektor swasta berjumlah US$47,29 miliar. Angka tersebut setara dengan 11,61% dari total utang luar negeri sebesar 407,34 miliar dolar.

Aliran utang luar negeri jangka pendek terus meningkat dalam beberapa bulan terakhir. Mulai saat ini pada April 2024, dari US$51,63 miliar menjadi US$57,59 miliar. Peningkatan pinjaman Bank Indonesia terbesar terjadi pada April 2024 sebesar US$5,5 miliar hingga US$10,27 miliar pada Mei 2024.

Peningkatan ULN jangka panjang tidak sebesar ULN jangka pendek. Nilai rata-rata pada Mei 2024 mencapai US$349,75 miliar dari bulan sebelumnya US$347,19 miliar.

Lihat berita dan artikel lainnya di website Google dan saluran WA