Bisnis.com, Jakarta – Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming akan menghadapi serangkaian tantangan fiskal yang berdampak pada pendapatan negara pada tahun depan.
Sebab, pemerintah membutuhkan banyak tambahan anggaran untuk program-program presiden baru.
Salah satu hal yang menarik perhatian Bank Dunia adalah tantangan efisiensi yang membatasi potensi kenaikan tarif pajak untuk menghasilkan tambahan pendapatan pajak.
Seperti diketahui, mengacu pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Fiskal (HPP), tarif pajak pertambahan nilai (PPN) diperkirakan akan meningkat menjadi 12% pada tahun 2025.
Dalam data Bank Dunia, rasio efisiensi PPN di Indonesia (VAT C-efficiency) sebesar 0,53 (rasio 1 menunjukkan sistem pemungutan pajak yang sangat efisien) atau 0,17 poin di bawah rata-rata negara tetangga.
Artinya, penghasilan yang dapat dipungut dengan tarif berlaku adalah dua kali lipat penghasilan kena pajak saat ini.
“Jika rasio tersebut ditingkatkan ke tingkat yang sebanding dengan negara lain di kawasan, manfaat ekonomi dari kenaikan tarif PPN diperkirakan akan meningkat hingga 32% melebihi manfaat saat ini,” tulis Bank Dunia, disebutkan pada Rabu ( 26). . / 6/2024).
Tantangan lain muncul dari rancangan kebijakan PPN dan rendahnya kepatuhan pajak. Pemerintahan Prabowo hanya akan menghasilkan sedikit atau tidak ada pendapatan tambahan jika tantangan ketidakpatuhan terus berlanjut.
Terbatasnya pendapatan negara
Bank Dunia mencatat bahwa rendahnya efisiensi pajak disebabkan oleh sempitnya basis pajak dan rendahnya kepatuhan, yang akan membatasi pengumpulan pajak tambahan jika pajak dinaikkan.
Basis pajak yang sempit ini disebabkan oleh desain kebijakan perpajakan Indonesia dengan pajak yang rendah, ambang batas yang tinggi, dan banyak pengecualian.
Pasalnya, Indonesia memberlakukan batasan omzet pengusaha kecil yang harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau dikenai PPN sebesar Rp 4,8 miliar per tahun atau Rp 400 juta per bulan.
Sedangkan rata-rata ambang batas di negara anggota OECD mewajibkan PPN bagi pengusaha jika memiliki omzet sebesar 57.000 dolar AS atau Rp 855 juta per tahun (kurs Rp 15.000 per dolar AS).
Indonesia memiliki usaha mikro dan kecil, sehingga hanya sedikit pengusaha yang tergolong memiliki omzet lebih dari Rp 4,8 miliar per tahun.
“Oleh karena itu, ambang batas PPN yang lebih tinggi secara signifikan mempersempit basis pajak PPN. Selain itu, Indonesia memiliki lebih banyak sektor bebas pajak dibandingkan negara lain, seperti produk pertambangan dan pengeboran,” tulis Bank Dunia.
Selain itu, rendahnya kepatuhan pajak disebabkan oleh tantangan dalam penegakan hukum, maraknya penghindaran pajak, dan rendahnya semangat pajak di kalangan wajib pajak. Meningkatnya pertumbuhan sektor informal, shadow economy, menyebabkan pemerintah tidak dapat menemukan pembayar pajak.
Selain itu, dangkalnya sektor keuangan membatasi akses perusahaan terhadap pembiayaan formal, sehingga memaksa perusahaan mengandalkan laba ditahan untuk membiayai operasional bisnis, sehingga mendorong penghindaran pajak.
Sektor keuangan yang dangkal membatasi kemampuan otoritas pajak untuk memantau dan menegakkan hukum, sehingga membatasi bukti dari sektor perbankan yang dapat digunakan untuk audit.
“Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan lembaga keuangan formal untuk investasi dan kredit modal kerja membantu otoritas pajak melacak pendapatan dan aset, sehingga meningkatkan pengumpulan pajak,” tulis l’International Financial Institution.
Sementara itu, pemerintah saat ini sedang menyusun APBN 2025 untuk presiden terpilih. Rancangan APBN tahun 2025 berupa proyeksi belanja dan pendapatan akan diumumkan Presiden Jokowi nanti dalam nota fiskal pada 16 Agustus 2024.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel