Bisnis.com, Jakarta – Kredit macet cenderung meningkat sehingga mendorong pemerintah meminta perpanjangan kebijakan stimulus restrukturisasi kredit perbankan terdampak Covid-19 yang akan berlanjut hingga tahun 2025. 

Berdasarkan laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rasio kredit bermasalah (NPL) bruto perbankan mencapai 2,33% pada April 2024, atau satu bulan setelah penghentian restrukturisasi kredit akibat Covid-19.

Angka tersebut naik dibandingkan bulan sebelumnya yang total NPL sebesar 2,25% pada Maret 2024. Kemudian, NPL neto juga meningkat menjadi 0,81% pada April 2024 dibandingkan bulan sebelumnya yang hanya 0,77%.

Dibandingkan akhir tahun lalu, angka tersebut juga meningkat menjadi 2,19% dari NPL bruto Desember 2023 dan 0,71% dari NPL net.

Sementara itu, secara year-on-year, NPL gross membaik sebesar 20 basis poin (bps) dari 2,53% menjadi 2,33%. Di sisi lain, NPL neto meningkat dari 0,78% menjadi 0,81%.

Rasio risiko kredit (loan to risk/LaR) perbankan turun menjadi 11,04% pada April 2024 dari 11,1% pada Maret 2024. Secara year-on-year, LaR juga mengalami perbaikan, seperti yang terjadi pada bulan April 2023. 13,88%. Sedangkan LaR April 2024 lebih tinggi dibandingkan keadaan akhir tahun 2024 yaitu 10,94%.

Sebagai informasi, kebijakan stimulus pemerintah yang diterapkan mulai Maret 2020 akan berakhir pada 31 Maret 2024. 

Kemarin, pemerintah mengumumkan perpanjangan kebijakan stimulus restrukturisasi kredit perbankan terdampak Covid-19 hingga tahun 2025.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlanga Hartarto mengatakan perluasan kebijakan restrukturisasi kredit yang dilakukan pemerintah merupakan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan diusulkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). 

Airlanga menjelaskan, tujuan pemberian stimulus adalah untuk mengurangi beban perbankan untuk menutup kerugian akibat meningkatnya kredit bermasalah.  

“Tadi ada arahan presiden yang mengusulkan restrukturisasi kredit akibat Covid-19 jatuh tempo pada Maret 2024, kemudian melalui KSSK dan Gubernur BI sebaiknya ditunda hingga tahun 2025,” ujarnya di sana. Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (24/6/2024).

Bisnis mencatat sisa restrukturisasi kredit hingga April 2024 sebesar Rp207,40 triliun, turun dibandingkan bulan sebelumnya Rp228,03 triliun. Bahkan, secara tahunan angka tersebut mengalami penurunan dari awal Rp 386,03 triliun.

Menanggapi hal tersebut, Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioxa Siyahan mengatakan usulan dilanjutkannya restrukturisasi tersebut karena perkembangan kondisi perekonomian saat ini, yakni era suku bunga tinggi yang terus berlanjut dan ketidakpastian geopolitik.

Menurut dia, perluasan restrukturisasi dilakukan guna menjaga stabilitas keuangan dan perekonomian dengan tetap menjaga kinerja bank yang baik.

“Pasca program restrukturisasi dihentikan, terdapat kecenderungan peningkatan NPL perbankan,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (25/6/2024).

Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap usulan perpanjangan restrukturisasi Covid-19 dari semula Maret 2024 yang diundur ke 2025. .

“Pergerakan keuntungan bank tidak pernah turun dalam situasi apapun, kalau kita memberikan stimulus lagi, akhirnya akan berdampak [the bank’ lazness],” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (25/6/2024).

Menurut dia, kebutuhan likuiditas bank saat melakukan restrukturisasi sangat penting untuk diperhatikan. Sementara itu, saat ini Alat Likuid/Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 25,6% pada April 2024 dinilai cukup dan jauh di atas ambang batas 10%. “Kondisi likuiditas [di bank-bank RI] cukup mencukupi, tidak ada yang kesulitan likuiditas,” ujarnya.

Menurut dia, kenaikan NPL sendiri bukan menjadi alasan utama untuk melonggarkan restrukturisasi kredit akibat Covid-19.

“Kalau NPL meningkat, [bank] harus berhati-hati dalam menyalurkan kredit, jangan sampai mereka melakukan restrukturisasi lebih lanjut. “Kalau mereka memberikan stimulus, saya khawatir likuiditas tidak akan mengambil uang dari usaha produktif, melainkan akan diinvestasikan pada surat berharga pemerintah.” [SBN],” jelasnya.

Ia mengatakan tren industri NPL gross dan NPL net masih terkendali, masing-masing di bawah 3% dan 1%. 

Padahal, dia menilai pertumbuhan NPL sebaiknya dilihat dari nominalnya. NPL perbankan membaik menjadi Rp163,26 triliun pada Maret 2024 dari Rp166,6 triliun pada bulan sebelumnya, menurut data OJK.

Ucok juga mengatakan, alasan geopolitik dan era suku bunga tinggi sebenarnya tidak banyak berdampak pada perbankan Indonesia kecuali porsi pinjaman valas bank tersebut sangat tinggi, misalnya 50% dari portofolio yang ada.

Kondisi bank

Di tengah tren peningkatan rasio kredit industri bermasalah, PT Bank Azi Santral Tbk. (BBCA) terus menjaga cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang memadai, dengan cakupan NPL sebesar 220,3% dan cakupan LAR sebesar 71,9% pada Maret 2024.

EVP Corporate Communications and Social Responsibility BCA Hera F. Haryn mengatakan biaya cadangan akan selalu direvisi sesuai dengan perkembangan kualitas aset dan kondisi perekonomian Indonesia. 

“Pertumbuhan kredit BCA dibarengi dengan kualitas pinjaman yang terkendali, portofolio pinjaman yang direstrukturisasi secara bertahap kembali normal pembayarannya,” ujarnya kepada Bisnis, Jumat (21/6/2024).

LaR BCA terpantau sebesar 6,6% pada Q1 2024, turun dibandingkan tahun lalu sebesar 9,8%. Sementara NPL BCA sedikit meningkat menjadi 1,9% pada kuartal I 2024 dibandingkan periode yang sama tahun lalu yakni 1,8%. 

Hera mengatakan: “Ke depan, BCA akan terus mendorong pengalokasian kredit lintas sektor dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian sejalan dengan dinamika makroekonomi domestik dan global.

Sementara itu, Direktur Manajemen Risiko PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN) Setiyo Wibowo mengatakan cadangan perseroan akan tetap di kisaran 150% pada tahun ini. 

Berdasarkan paparan perseroan, NPL coverage pada Maret 2024 sebesar 152,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 145,9%. Sedangkan Cakupan LaR sebesar 21,3%, dipertahankan dari tahun lalu.

Pada Jumat 21/6/2024, ujarnya kepada Bisnis, “Hal ini sejalan dengan masih tingginya risiko kredit akibat kenaikan suku bunga dan berakhirnya program restrukturisasi (Covid-19).

Selain itu, terungkap pula bahwa pada tahun ini NPL BTN akan membaik menjadi 2,8-2,9% dan LAR di bawah 20%.

Pada Maret 2024, total NPL BTN mencapai 3%, dibandingkan 3,5% pada periode yang sama tahun sebelumnya. NPL net juga menjadi 1,4% dari 1,5%. LAR pun berhasil diturunkan menjadi 21,6% dibandingkan sebelumnya 24,2%. 

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel