Bisnis.com, JAKARTA – Melalui Keputusan Presiden 15/2024 tentang Kelompok Kerja (Satgas) Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Wilayah Merauke, Provinsi Papua Selatan, Presiden Jokowi menunjuk Menteri Investasi/Ketua Komite Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia sebagai Ketua kelompok Pokja.
Satgas merupakan lembaga ad hoc. Tujuan pembentukan kelompok kerja adalah untuk mengambil alih tugas yang diberikan kepada kementerian/lembaga (K/L).
Keberadaan gugus tugas tersebut menjadi penegas bahwa K/L yang tugas pokok dan fungsinya (tupoxi) pengelolaan industri gula tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Penunjukan Bahlil tentu bukan tanpa alasan. Semasa menjabat menteri, Bahlil terbukti menjadi salah satu loyalis Jokowi. Bahlil selalu tampil sebagai advokat yang kuat ketika ada kebijakan pemerintah yang dianggap bertentangan dengan nalar masyarakat. Dengan sikap tersebut, di satu sisi Bahlil berpotensi menjadi musuh rakyat. Di sisi lain, ia juga menjadi ujung tombak presiden dalam melaksanakan kebijakan yang ditentang masyarakat. Sebagai politikus Golkar, Bahlil membuktikan mampu bermain di kedua kubu. Berbeda dengan pejabat profesional.
Penunjukan Bahlil sebagai Ketua Pokja Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Merauke patut dibaca dari dua aspek. Pertama, buat eksekusi menjadi efisien. Saat gugus tugas ini terbentuk, pemerintahan Jokowi baru berusia 5 bulan. Dengan pengalamannya, Bahlil diharapkan bisa fokus pada eksekusi.
Kedua, hindari mengulangi kesalahan. Seperti diketahui, pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Merauke “ditabulasikan” sebagai lumbung pangan. Melalui proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate pada tahun 2010, Merauke diharapkan menjadi hub produksi jagung, tebu, dan kayu untuk pangan dan energi. Puluhan investor datang, namun 3-4 tahun kemudian toko tersebut tutup. Tidak ada yang tersisa.
Dalam konteks seperti itu, maka wajar jika pernyataan Bahlil dalam pertemuan dengan media selaku ketua kelompok kerja menimbulkan pertanyaan.
Bahlil mengaku, ada 2 juta hektare lahan di Merauke yang akan ditanami tebu untuk diolah menjadi gula dan etanol. Sebagian lahan dikelola secara eksklusif oleh pihak swasta, sebagian lainnya dikelola oleh perusahaan negara Sugar Co melalui Kawasan Ekonomi Khusus yang bekerja sama dengan pihak swasta. Wilmar adalah salah satu investor yang disebutkan. Benarkah Merauke punya 2 juta ha lahan yang cocok untuk perkebunan tebu?
Dalam Keputusan Menteri Koordinator Perekonomian No. 418 Tahun 2023 tentang Rencana Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati Tahun 2024-2030 menyebutkan terdapat potensi lahan seluas 2 juta hektare yang cocok untuk ditanami tebu. Semuanya di luar Papua.
Benar sekali, Merauke dan Papua disebut-sebut sebagai daerah yang cocok untuk tanaman tebu. Namun wilayahnya tidak disebutkan. Merujuk pada laporan Puslitbang Perkebunan Gula Indonesia (2010), 500.000 ha dari total luas 711.071 ha yang cocok untuk industri gula di luar Pulau Jawa terletak di Papua. Dari 500.000 ha tersebut, 220.000 ha berada di Merauke. Kesesuaian lahan merupakan hal mendasar. Jika medannya tidak sesuai, kemungkinan kegagalannya tinggi.
Ketinggian Merauka datar. Iklim khususnya di Malindo, Kuriko, Jagebob, Mutingo dan Okaba cocok untuk tebu. Hal ini ditandai dengan perbedaan yang jelas antara musim hujan dan kemarau. Bahkan, bulan kemarau di Merauke lebih lama satu bulan dibandingkan di Lampung, sentra produksi tebu dan pabrik gula terbesar di luar Jawa.
Hal ini menjadi keuntungan karena masa panen dan penggilingan lebih lama. Juga masa memasaknya. Perbedaan suhu siang-malam optimal untuk mencapai hasil yang tinggi. air yang cukup Tanah kental dan podsolik kurang subur. Pemupukan, penambahan dolomit dan bahan organik bisa menjadi solusinya. Intensitas sinar matahari yang tinggi pada musim kemarau memungkinkan produktivitas dan hasil tebu tinggi.
Untuk mencegah hal serupa terulang kembali, Bahlil dan gugus tugas harus mengkaji penyebab kegagalan MIFEE di masa lalu. Dari puluhan investor tersebut, terdapat 5 perusahaan swasta yang memiliki izin menanam tebu dan membangun pabrik gula di Merauke, yakni Rajawali Corpora, Medco, Wilmar, Hardaya, dan Astra Agro.
Masing-masing memiliki konsesi puluhan ribu hektar. Empat tahun (2011-2014) beroperasi, kelimanya gagal dan mundur dari Merauke. Penyebab utama kegagalan adalah ulat pucuk (Chilo terrenelus). Tegas seperti serangga, Chilo menyerang pucuk hingga titik tumbuh (meristem), dan tebu yang berumur 6-7 bulan mati. Menyerang hingga 90%. Pestisida dan pemberantasan biologis tidak berhasil.
Menurut Heru Wientojo, Direktur Perencanaan Senior PT CJM (Cendrawasih Jaya Mandiri), cabang Rajawali untuk proyek tebu di Merauke, Chilo memiliki inang tebu di hutan.
Genus tebu (Saccharum spontaneum) dan tebu (Saccharum officinarum) adalah sama: Saccharum. Ketika hutan ditebangi untuk dijadikan tebu, ekosistemnya terganggu. Chilo yang kehilangan inangnya kemudian menyerang tebu yang kandungan gulanya 100 kali lebih banyak dari tebu. Barang tujuh varietas tebu sudah habis terjual.
Saat pembukaan perkebunan pabrik gula Bungamayang di Lampung, tebu terserang hama belalang dan gulma rayutan (Ipomoea triloba). Serangan berkurang seiring bertambahnya luas taman. Konsep keseimbangan ekosistem ini harus diterapkan di Merauke.
Tantangan selanjutnya adalah kemungkinan terjadinya konflik dengan masyarakat. Ketika MIFEE dimulai, hampir setiap perusahaan berkonflik dengan masyarakat adat. Baik mengenai batas tanah maupun besaran ganti ruginya. Bukan sekadar izin formal dari birokrasi, korporasi harus mendapat restu warga.
Sedangkan untuk templatenya bisa dioptimalkan untuk para transmigran yang sebagian besar berasal dari Pulau Jawa. Kendala lainnya adalah infrastruktur, termasuk logistik. Bagaimana membuat logistik dari Merauke ke daerah konsumen menjadi kompetitif? Akhirnya, ketika saya bertemu Heru Wientoj pada akhir Mei, dia berkata kepada saya: “Belajarlah dari kesalahanmu. Pengalaman adalah guru yang sangat mahal.” Mudah-mudahan Bahlil memikirkannya.
Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA channel