Bisnis.com, JAKARTA – Ekspor produk tekstil dan produk tekstil (TPT) menunjukkan tren penurunan secara bulanan dan tahunan. Penurunan ekspor ini seiring dengan permasalahan penutupan pabrik dan PHK massal yang akan terjadi pada awal tahun 2024.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor TPT pada Mei 2024 berjumlah $963,7 juta, turun 6,80% dari periode yang sama tahun lalu dibandingkan $1,03 miliar pada Mei 2023. Dari sisi volume, ekspor TPT juga mengalami penurunan dari 173,7 juta kg menjadi 167,03 juta kg pada Mei tahun lalu.
Sedangkan secara bulanan, ekspor Mei 2024 sebesar $963 juta, meningkat 28,06% dari bulan sebelumnya sebesar $752 juta. Artinya, volume ekspor meningkat menjadi 167 juta kg, lebih tinggi 145,7 juta kg dibandingkan bulan April.
Habibullah, Deputi Direktur Statistik Produksi BPS, mengatakan meski meningkat dibandingkan bulan sebelumnya, namun total ekspor TPT Januari-Mei 2024 mengalami penurunan sebesar 0,80% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
“Secara keseluruhan, nilai produk TPT periode Januari-Mei 2024 mengalami penurunan sebesar 0,80% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya,” kata Habibullah, Kamis (20 Juni 2024).
Dia menjelaskan, dari 14 kode HS dua digit yang berlaku untuk produk TPT, hanya kode HS 50 atau sutra yang mengalami penurunan nilai ekspor. Sementara itu, ekspor sutra tercatat $21,748 pada bulan Mei 2024, turun $23,137 dibandingkan bulan April.
Penurunan ekspor disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain lesunya permintaan di pasar global, ketatnya persaingan dengan Tiongkok, dan konflik geopolitik di Timur Tengah.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemi Kartiwa mengatakan perselisihan di pasar global masih menjadi kendala utama karena posisi nilai tukar dolar AS yang semakin kuat dan buruknya permintaan global.
“Hal ini memberikan tekanan pada industri tekstil dalam negeri. Selain persaingan yang semakin ketat akibat kebijakan pengurangan risiko di AS dan UE, Tiongkok juga berada di bawah tekanan dan mengalami kelebihan kapasitas,” ujarnya.
Kelebihan pasokan TVET di Tiongkok telah memaksa negara tersebut untuk fokus pada negara-negara yang memiliki pasar potensial. Namun penerapan hambatan perdagangan masih lemah. Alhasil, Indonesia menjadi sasarannya.
Situasi ini mengakibatkan membanjirnya produk tekstil dan pakaian jadi di pasar dalam negeri Indonesia. Selain itu, produk lokal kurang kompetitif dibandingkan produk Tiongkok yang lebih murah, sehingga efektivitas produksi tekstil dalam negeri stagnan pada kisaran 50-60%.
Penutupan pabrik dan PHK massal akibat minimnya jumlah pesanan dimaknai lemahnya pemanfaatan produksi TPT dalam negeri akibat rendahnya keamanan pasar produk impor.
Berdasarkan data API, jumlah pekerja tekstil yang terkena PHK di sentra tekstil seperti Bandung dan Solo diperkirakan mencapai 7.200 orang pada tahun 2023. Sedangkan hingga Mei 2024, total orang yang terkena PHK berjumlah 18.000 orang.
Sementara itu, jumlah pekerja tekstil yang terkena PHK pada triwulan I 2024 mencapai 3.600 orang, meningkat 66,67% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. API juga mencatat sekitar 20 hingga 30 pabrik tutup sejak awal tahun 2023.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel.